by Rasmi Silasari
Sebagai ibukota yang terletak di tengah Eropa (cek sendiri kalau
nggak percaya), Wina merupakan lokasi mangkal favorit bagi organisasi
dan institusi internasional. Selain markas PBB—atau UN lebih hematnya—yang
saking luasnya sampai
disebut ‘city’ dan OPEC (Organisation of the Petroleum Exporting
Countries) yang Indonesia sudah bukan anggota lagi sejak 2008, Wina
juga menjadi tuan rumah bagi KAICIID
atau ‘King Abdullah Bin Abdulaziz International Center for Interreligious and
Intercultural Dialog’.
Organisasi ini bukan cuma punya nama yang panjaaang tapi juga memiliki tujuan mulia:
sebagai wadah dialog antaragama dan antarbudaya demi terwujudnya perdamaian dunia (yang sering
disebut-sebut oleh mbak-mbak peserta Miss Universe).
—kelihatan garang banget nggak sih bangunannya, lokasinya
dekat dengan Börse dan Schottenring
Gimana gitu ‘Interreligious
and Intercultural Dialog’ bisa nyambung sama perdamaian dunia?
Ya contohnya
kamu punya pohon mangga, akarnya di kebonmu tapi tumbuhnya belok-belok ke kebon
tetangga. Walhasil sang tetangga yang kebagian pahitnya mesti bersihin daun
yang rontok dan kebagian manisnya juga dari mangga yang jatuh. Terus kamu
protes deh soal hak milik si mangga tersebut.
‘Eh ini kan resminya pohon gue kenapa jadi situ yang makanin mangganya?’,
‘Ya iya lah yang nyapuin daunnya juga
gue!’, ‘Kok gitu sih kan akarnya ada
di area gue!!’, ‘Makanya mas kalo tanem
pohon bilangin dong jangan nyasar-nyasar ke kebon orang!!!’, ‘Lo menghina Angie (red: nama si pohon tsb)??!’
*LEMPAR-LEMPARAN SANDAL*.
Walaupun
seru sayangnya perang sandal nggak akan menyelesaikan masalah. Dalam hal ini
lah dialog berperan besar. Kalau sama-sama duduk, ngobrol dan mengerti masalah
satu sama lain kan lebih adem mencari jalan keluarnya. Baru sengketa antarkebon
aja bisa bikin geger sekampung. Apalagi kalau konflik antaragama dan
antarbudaya?
Mending kalau masih dalam satu wilayah, kalau perseteruannya
lintas negara terus lempar-lemparan sandal rudal?? Maka dari itu KAICIID
bermisi untuk memfasilitasi segala bentuk dialog antaragama dan antarbudaya
untuk mencegah berkembangnya konflik menjadi ‘lempar-lemparan sandal’ dalam
skala yang lebih brutal.
—infografik konflik antaragama di USA yang
dirangkum organisasi Tanenbaum
Awal mula
terbentuknya KAICIID adalah inisiatif mewujudkan dialog global yang
disampaikan pada Islamic Summit di
Mekkah tahun 2005 dan diteruskan oleh almarhum King Abdullah Bin Abdulaziz pada
pertemuan dengan Paus Benedict XVI tahun 2007.
Setelah beberapa konferensi di
Mekkah, Madrid, Wina dan Geneva, para peserta menyepakati perlu dibentuk suatu
lembaga resmi yang mewadahi aktifitas dialog global ini. Maka pada Oktober 2012 para negara pendiri (Arab
Saudi, Austria dan Spanyol) menandatangani perjanjian pembentukan KAICIID di
Wina.
Kemudian pada November 2012 KAICIID meresmikan kantor pusat yang terletak
di daerah Schottenring. Dalam kurun waktu 2 tahun, KAICIID menyelenggarakan konferensi internasional antar-pemuka
agama pada November 2014 di Wina. Konferensi dengan tema “United against Violence in the Name of
Religion” ini menghimpun
saran, inisiatif dan pernyataan dari para peserta dalam gerakan melawan
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
—KAICIID menekankan pentingnya bertukar informasi antaragama
dan antarbudaya untuk memupuk toleransi seperti yang dilakukan the historic world’s travellers: Marco
Polo, Zheng He & Ibn battuta (foto: KAICIID)
Selain konferensi antar-pemuka agama, KAICIID juga
menyelenggarakan fellowship (ini nggak ada
hubungannya dengan misi bawa-bawa cincin ke gunung berapi) yang bertujuan
membekali para aktivis dan akademisi keagamaan dari berbagai agama dan bangsa dalam
pengembangan dialog antaragama dan antarbudaya di daerah masing-masing.
KAICIID
International Fellows Programme periode 2015-2016 diadakan di Wina
selama seminggu (13 – 20 Februari 2015) yang dilanjutkan selama setahun secara online dan evaluasi di akhir tahun kembali
di Wina. Sebanyak 20
peserta mengikuti fellowship ini yang merepresentasikan 5 agama (Buddha,
Hindu, Kristen, Islam dan Yahudi) dan 17 negara (Arab Saudi, Austria, Guatemala,
India, Indonesia, Inggris, Irak, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, Turki, Uganda, USA, Venezuela dan
Yordania). Oho, rupanya ada juga perwakilan dari Indonesia!
—kata beliau-beliau ini Indonesia adalah negara yang sangat
diperhatikan karena keragaman agama dan budayanya; menarik tapi juga rawan
konflik (foto: KAICIID)
Peserta dari Indonesia yang mengikuti fellowship periode 2015-2016 ini adalah Pak Yusuf dan Bu Wiwin. Pak Yusuf adalah aktivis dari ICRP (Indonesian
Conference on Religion and Peace) yang sudah menerbitkan empat buku dan kerap
memberikan workshop mengenai
toleransi antarumat bergama. Selain mendapatkan dua gelar master dari UI (Program
Studi kajian Timur Tengah dan Islam) dan ICAS London (Master of Philosophy and
Islamic Mysticism) beliau juga menerima beasiswa dari Vatikan
untuk mendalami interreligious studies
di tiga universitas di Italia.
Bu Wiwin
juga seorang aktivis dari Institut
DIAN/Interfidei yang berpusat di Yogyakarta. Beliau sudah sangat lama (15
tahun!) berkecimpung dalam kegiatan dialog antaragama dan turut berperan dalam
mengorganisir sejumlah konferensi nasional. Bu Wiwin mendapatkan gelar MA dari
UIN Sunan Kalijaga (Hubungan Antaragama) dan juga mengajar di Universitas
Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
—acara penutupan KAICIID
International Fellows Programme
Selama di Wina Bu Wiwin pernah menginap di rumah penulis
(yang berakhir penulis ikutan nginep di hotelnya Bu Wiwin karena kepo ;p—‘BREAKFAST BUFFET DI HOTEL CUY!’ pikirku
dengan penuh semangat ‘khas mahasiswa’) yang berbuah manis undangan dari Bu
Wiwin yang baik hati untuk ikut hadir di acara penutupan.
Yah, sebenarnya yang
diundang adalah WG
penulis, Dr.
rer. nat. Ningrum, secara beliau yang berdedikasi nungguin si Ibu datang, masak-masak
dan mengantarkan Bu Wiwin ke mana-mana.
Alhamdulillah karena sang Dr. rer. nat.
Ningrum mencari teman untuk datang ke undangan tersebut akhirnya penulis pun
kebagian rejekinya~ Setelah lama penasaran seperti apa dalamnya gedung yang
depannya sangar ini akhirnya bisa masuk juga! Sayangnya penulis tidak sempat
foto-foto arsitektur dan interior di dalam karena keasikan cemal-cemil dan foto
narsis.
—bukan orang Indonesia kalau nggak foto-foto, haha! Bersama
Dr. rer. nat.
Ningrum, Bu Wiwin dan Pak Dody sebagai undangan perwakilan dari KBRI
Terlepas dari cemal-cemil yang bikin nggak sempat foto-foto
tersebut, hari itu tetap ditutup dengan makan malam di all-you-can-eat & pay-as-you-wish
favorit di daerah Schottentor: Deewan. Mohon
diperhatikan bahwa ini semata-mata untuk kepentingan wisata alias menunjukkan
pada Bu Wiwin tempat makan di Wina yang enak, halal, murah dan banyak (buat
yang belum pernah ke sini: SITU KEMANE
AJE), jadi bukan karena penulis nggak bisa berhenti makan dan nggak bisa
nolak traktiran (terima kasih banyak Bu Wiwin!).
—terima kasih banyak Bu Wiwin untuk dinner-nya, dan Dr. rer. nat. Ningrum untuk fotonya :D
*Setelah ngebahas makanan
jadi lupa inti artikelnya apa* Ah ja, jadi kalau suatu waktu ada yang punya
konflik antar-apapun yang pelik, baiknya jangan dihadapi dengan anarkisme
meskipun sebatas perang sandal.
Hadapi konflik dengan rasional dan diskusi, jangan
terhasut ngelempar sandal hanya karena terlihat seru dan seneng lihat lawannya
kesakitan :(.
Ambil kursi, bikin Melange, suguhin Sachertorte, dan mulai dengan
‘Das Wetter ist gut oder?’ *lho*.
Selamat berdialog dengan asik :)
No comments:
Post a Comment