/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Tuesday, 1 May 2018

Impor Dosen Asing, Hadiah di Hari Pendidikan Nasional

Oleh : Dr. Rachmat Adhi Wibowo


Banyak jalan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan penelitian di tanah air tentunya. Mulai dari peningkatan fasilitas pengajaran, pemberian insentif proposal untuk para dosen, pemberian penghargaan penelitian, hibah dana penelitian bersaing hingga pemberian insentif publikasi internasional. Setidaknya itu yang sudah dijalankan oleh universitas, lembaga penelitian maupun oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi -KemenRistekDikTi. Dari beberapa program yang sifatnya insentif tersebut, beberapa hari terakhir jagat dunia pendidikan tinggi tanah air disibukkan dengan kritik akan rencana pemerintah mengundang dosen asing -setidaknya 200 orang-  untuk mengajar dan mungkin juga meneliti di kampus-kampus tanah air.

Jika melihat dunia akademik atau penelitian global, keberadaan pengajar atau peneliti asing di sebuah universitas dan lembaga penelitian suatu negara adalah hal yang sudah jamak alias bukanlah hal yang baru terjadi. Tengoklah negara jiran Singapura misalnya. Sumber daya manusianya yang sangat minim memaksa mereka untuk “mengimpor” sumber daya dari negara lain, termasuk dosen/ professor dan peneliti. Bahkan tidak tanggung-tanggung, bukan hanya tenaga asing untuk mengisi pos-pos level “ecek-ecek”, Singapura sudah membuka diri jauh untuk mengundang tenaga asing menduduki pos-pos penting nan strategis untuk menunjang kemampuan daya asing negaranya di pelbagai bidang, termasuk bidang pendidikan atau penelitian.


Penulis yang pernah bekerja sebagai Research Fellow di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, telah merasakan hal ini secara langsung. Rektor NTU sendiri pernah dipegang oleh orang Swedia. Belakangan NTU mengimpor profesor berkebangsaan Amerika untuk menjadi Rektor mendatang. Tidak tanggung-tanggung, yang diimpor ialah seorang mantan Kepala National Science Foundation-nya Amerika yang merupakan sebuah lembaga pemberi dana penelitian kelas wahid.

Negara jiran lain Malaysia juga membuka lebar-lebar pintu masuknya dosen maupun peneliti berkebangsaan asing di negaranya untuk mengisi posisi-posisi yang bersaing dengan tenaga pribumi. Kebetulan beberapa kawan dekat penulis yang putra asli tanah air juga menjadi profesor di beberapa kampus di Malaysia.

Dan kita pun mahfum jika baik Singapura maupun Malaysia mendapat banyak keuntungan dari keberadaan tenaga asing di bidang pendidikan maupun penelitian. Mulai dari kualitas pengajaran di kampus, kuantitas publikasi ilmiah hingga reputasi negara bersangkutan yang mulai dilirik di kancah pendidikan dan penelitian. Pada akhirnya, berbondong-bondonglah mahasiswa asing -termasuk mahasiswa Indonesia- yang menuntut ilmu di Singapura atau Malaysia mengingat level kualitas mereka yang di atas rata-rata pendidikan dan penelitian di tanah air.

Lantas mengapa rencana KemenRistekDikti untuk meniru jejak keberhasian negara jiran di atas dalam mengundang profesor asing ke kampus-kampus di tanah air justru mengundang banyak tentangan?

Sebagaimana yang diberitakan, program KemenRistekDikti ini memberi imbalan gaji paling besar kepada dosen asing sebesar 65 juta-an per bulan mungkin setara dengan USD 4000/bulan. Artinya, dosen asing ini memperoleh gaji belasan kali lebih besar dari dosen „lokal“ di kampus yang sama. Tentu saja dengan kedatangan dosen asing yang dirangsang dengan insentif gaji lumayan besar, maka akan diharapkan akan ada perubahan signifikan yang dibawa ke dalam dunia akademik di Indonesia. Paling sederhana ialah peningkatan kualitas dan kuantititas pulikasi ilmiah internasional yang ditelurkan dari kampus-kampus tanah air. Sayangnya kenyataan di dunia akademik maupun penelitian kita memiliki banyak faktor yang justru akan memuat program tersebut layu sebelum berkembang.

Pertama, kesiapan lembaga akademik atau penelitian di tanah air untuk menjadi „host“ dosen asing tersebut. Yakni apalagi jika bukan persoalan birokrasi. Mengundang dosen asing -apalagi dosen asing berkualitas- juga membutuhkan fasilitas birokrasi yang berkualitas pula. Misalnya, ketika dosen yang bersangkutan membutuhkan bantuan segera persoalan keimigrasian, lapor diri, perpanjangan izin tinggal hingga persoalan pelayanan yang membutuhkan stempel kampus yang bersangkutan, membutuhkan gerak cepat birokrasi kampus. Gerak cepat birokrasi ini untuk menunjang aktifitas dosen asing berkualitas bukan hal yang dapat ditawar. Intinya adalah, bagaimana menyediakan dukungan birokrasi yang sama dengan seperti yang ia dapatkan di negara asalnya. Nah, birokrasi kampus di tanah air memang terkenal sangat kompleks. Ketika kampus dunia tengah mengalami pergeseran ke arah digital bureaucracy, yang membawa konsekuensi semua serba digital dan cepat tanpa perlu „stempel“ fisik, persoalan di kampus tanah air masih berkutan pada isu pelayanan profesional insan birokrasi. Artinya, level birokrasi kita belum setara dengan level birokrasi tempat dosen asing tersebut berasal. Untuk yang pernah kuliah di kampus luar negeri, pastilah sudah merasakan bagaimana pelayanan divisi Foreign Affair atau Student Service dsb di kampus luar negeri yang sudah mapan, cepat dan professional mendukung tidak hanya mahasiswa asing, namun juga staf pengajar asingnya. Bisakah prasyarat birokrasi yang bermutu dan professional ini sudah dijadikan agenda sebelum mengundang dosen asing? Toh birokrasi kampus yang profesional bukan hanya diperuntukkan untuk melayani dosen asing, melainkan memang sebuah bahagian dari lembaga akademik dan penelitian sebagai center of excellence.

Yang kedua ialah kesiapan fasilitas penunjang kegiatan akademik maupun penelitian. Penunjang kegiatan akademik misalnya ialah fasilitas laboratorium. Program mengundang dosen asing mudah-mudahan sudah memperhitungkan investasi yang proporsional untuk membenahi fasilitas ini. Jika dosen asing yang diundang ialah seorang profesor kimia misalnya, maka dia harus disupport oleh kondisi laboratorium kimia untuk praktikum dengan fasllitas yang baik. Yang terlihat sepele namun sangat esensial untuk sebuah laboratorium kimia ialah ketersediaan sistem pembuat air terdestilasi dengan kemurnian tinggi atau terkenal dengan di-ionised/distilled water (DI Water). DI Water digunakan untuk membuat seluruh larutan kimia, baik untuk praktikum mahasiswa maupun penelitian. Sayangnya, alat untuk memproduksi DI Water termasuk barang mewah di kampus-kampus tanah air. Harga pasaran alat ini sebesar gaji sang dosen asing itu sendiri sehingga tidak semua laboratorium Kimia (dan Biologi juga) memiliki alat wajib ada ini. Tidaklah lucu jika dosen asing mendapati mahasiswa Indonesia membuat larutan asam sulfat atau mendispersikan DNA dengan pelarut air keran atau air tadahan dari tetesan Air Conditioner (AC). Sebagaimana kasus birokrasi di atas, memperbaiki fasililitas pengajaran maupun penelitian mutlak dikerjakan bahkan tanpa perlu membuat program mengundang dosen asing sekalipun. Hal yang sama dengan situasi mutakhir penelitian kita. Hasil penelitian insan akademik dan penelitian di tanah air yang masih kurang memuaskan bukanlah persoalan apakah dosennya lokal maupun asing semata. Namun ada pada sejauh mana kita membangun iklim penelitian yang baik sesuai dengan perannya masing-masing. 


Peran KemenRistekDikti sendiri semestinya menyediakan arahan sekaligus pendanaan penelitian untuk aktifitas intelektual di tanah air. Sebagai contoh praktis, dosen di universitas maupun peneliti di lembaga penelitian mutlak disediakan sebuah program penelitian di mana mereka dapat mengirimkan proposal penelitiannya sesuai dengan program yang pas. Misal, program nasional kendaraan listrik akan dibuatkan program penelitian untuk bidang-bidang yang terkait. Program ini menampung dan memberikan dana penelitian untuk proposal-proposal terbaik di bidang yang akan menunjang ambisi nasional membuat kendaraan listrik, mulai dari sistem elektroniknya, sistem baterei, material untuk membuat baterei hingga sistem pengujiannya dsb. Atau program penelitian renewable energy hasil arahan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017. Yang mewadahi penelitian dan pemberian dana untuk penelitian di bidang sel surya, material lanjut untuk aplikasi energi, sel bakar dsb.


Contohnya seperti yang dilakukan di Austria. Lembaga pemberi dana penelitian Austria, Forschungsforderungsgemainschaft (FFG) atau Austrian Research Promotion Agency di bawah Kementrian Transportasi, Inovasi dan Teknologi membuat program tahunan di bidang Energy Research yang mewadahi penelitian-penelitian terpadu di bidang teknologi baru (Emerging Technology), sel surya (Photovoltaics), thermal surya (Solar Thermal), tenaga angin (Wind Energy) dsb. Program ini didanai oleh dana public dengan besar total rata-rata 20 juta Euro per tahun. Dengan adanya program tahunan ini, setiap tahunnya dosen maupun peneliti di Austria dapat kesempatan untuk mengirimkan proposal penelitian sesuai dengan bidang kepakarannya masing-masing. Dan dengan sifatnya yang berkala ini, maka ada kesinambungan penelitian dan titik fokus dari aktifitas dosen dan peneliti tersebut membangun kredibilitas dan spesialisasi. Ini baru untuk bidang energi. Program lain masih menunggu semisal program Smart City, program transportasi, program Information technology dan banyak lagi dengan masing-masing total dana yang sama besarnya. Dan hampir semua negara sebenarnya memiliki program tahunan seperti program di negara Austria ini.
Pertanyaannya ialah, jika program penelitian berkesinambungan lengkap dengan pendanaannya tidak tersedia di Indonesia, lantas apa yang akan diteliti oleh dosen asing? Jangankan dosen asing, dosen dan peneliti kita sendiri sejauh ini tidak memliki banyak pilihan untuk meraih dana penelitian untuk membangun kepakaran dan melahirkan karya-karya ilmiah berkelas. Jika tidak ada penelitian, apa yang hendak ditulis di publikasi ilmiah nantinya? Dan jika tidak ada dana penelitian, bagaimana cara untuk meng-upgrade kualitas laboratorium kimia dengan alat-alat yang memadai?

Yang ketiga dan terakhir ialah daya tarik Indonesia di mata tenaga kerja intelektual asing untuk pindah atau bekerja (meski sementara) di Indonesia.
Konon KemenRistekDikti menginginkan dosen-dosen asing yang berkualitas-lah yang akan menstimulus pendidikan dan penelitian di tanah air. Perhatikan kata „dosen asing yang berkualitas“. Tolok ukur berkualitas di sini sangatlah sederhana; (i) asal universitas atau lembaga penelitian, (ii) jumlah publikasi ilmiah atau paten dan/atau (iii)  status keanggotan yang bersangkutan di perkumpulan bidang kepakarannya.
Taruhlah jika jumlah publikasi ilmiah yang dijadikan ukuran utama. Maka artinya, selama dosen asing tersebut produktif menelurkan publikasi ilmiah per tahun, tandanya dia memenangi dana penelitian dengan cukup sering yang sebanding dengan jumlah publikasi ilmiahnya. Hal ini mudah dicerna, karena ada dana penelitian maka ada penelitian yang hasilnya dipublikasikan. Jika ada dana penelitian yang terus didapat, maka di negaranya pastilah ada program penelitian berkesinambungan dengan gambaran seperti apa yang saya tuliskan di atas. Jika ada publikasi ilmiah dan dana penelitian, dapat dipastikan yang bersangkutan memiliki kelompok riset yang produktif, terdiri dari mahasiswa-mahasiswa doktoral dibantu dengan mahasiswa-mahasiswa level master. Ditambah lagi dengan laboratorium penelitian yang jauh dari kata sekedar memadai.
Pertanyaannya, apakah ia akan mendapatkan itu semua ketika ia bekerja di negara kita? Jika satu-satunya hal yang kita tawarkan ialah gaji 65 juta rupiah per bulan atau USD 4000/bulan, apakah dosen asing akan mengorbankan dirinya untuk menghadapi ketiadaan iklim penelitian yang maju, lengkap dengan keterbatasan birokrasi kampus plus minim dana penelitian? Apa yang akan dosen asing tersebut tulis untuk dipublikasikan jika tidak ada support dana penelitian yang berkelanjutan selama ia mengajar di kampus atau meneliti lembaga penelitian Indonesia? Dengan kondisi kita sekarang ini, sebenarnya kita harus jujur bahwa tidak ada daya tarik Indonesia dari sisi keilmuan untuk menarik dosen asing yang berkelas.
Maka, jika ada dosen/profesor atau peneliti asing yang berminat ke Indonesia, maka perlu ditelusuri apakah yang bersangkutan sudah gagal berkompetisi meraih dana penelitian di negara asalnya, ataukah malah sudah menjelang pensiun.
Program yang lebih memberikan dampak positif yang dapat diajukan untuk memajukan pendidikan tinggi dan penelitian di tanah air sudah semestinya membangun pondasi iklim penelitian dan infrastrukturnya.

Dengan mengadakan program penelitian berkelanjutan yang sifatnya tematik lengkap dengan dana penelitian yang terjamin keberadaannya, persoalan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian sudah menuju ke titik terang. Dan sasaran dari program ini tidak lain ialah dosen dan peneliti kita sendiri. Mungkin jika kita memang belum mampu meningkatkan gaji dosen atau peneliti kita, dengan adanya program penelitian yang selalu merangsang dosen atau peneliti menulis proposal dan memenangkan dana penelitian yang kompetitif, maka akan terbangun iklim penelitian yang baik lengkap dengan output publikasi ilmiah, doktor cetakan dalam negeri plus paten untuk mengkomerisaliasikan hasil penelitiannya.

Tapi jika KemenRistekDikti mampu menganggarkan USD 4000/bulan untuk 200 dosen asing, masak iya menggelontorkan dana penelitian dengan nilai yang sama tidak mampu? Kelihatannya persoalannya lebih ada pada kehilangan kapasitas membangun visi yang jauh ke depan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional


Wina, Austria, 25 April 2018.


Pada saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Austrian Institute of Technology.

Profil selengkapnya dapat dilihat disini dan disini.

Publikasi ilmiah yang telah dihasilkan dapat dilihat disini.

No comments:

Post a Comment