/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Friday, 9 February 2018


PPI Austria 2018

PhD Story : Dr.mont. Andy Yahya Al Hakim
Foto setelah Rigorosum (Defense, 2017)

Hallo Mas Andy, sebelumnya kami mengucapkan selamat atas keberhasilan mas Andy dalam menyelesaikan pendidikan S3 di Chair of Geology and Economic Geology Montanuniversität Leoben, Austria.

 

Apakah boleh diceritakan, bagaimana proses awal saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Austria?

Terima kasih untuk ucapannya. Tahun 2013, saya mulai mendapat informasi bahwa ada kesempatan doktorat di Austria melalui beasiswa OeAD (saat itu beasiswa bernama Technology grants, sekarang bernama Ernst Mach). Saya berniat untuk mencoba saja, karena aplikasi saya di Jepang, Australia dan Kanada ternyata belum bersambut (tidak lolos seleksi, tidak ada dana, dsb).

 

Saya coba mencari Profesor di Austria yang mempunyai bidang keahlian yang mirip dan memulai perkenalan via email. Saat itu belum ada lulusan di bidang saya yang studi di jurusan itu, sehingga saya memulai komunikasinya dari awal. Alhamdulillah saya bertemu dengan Prof Frank Melcher, yang menyambut proposal saya dengan positif. Saya bersyukur bisa diterima di Montanuniversitaet Leoben karena sekolah ini adalah salah satu sekolah tambang yang terkenal di dunia dan mempunyai laboratorium yang mutakhir.

 

Proses seleksi dan aplikasi visa+residence permit berjalan hampir 1,5 tahun (pertengahan 2013),  akhirnya saya tiba di Austria pada 31 Januari 2015.

 
 Fieldtrip di Abisko, Swedia (2017)
Setelah tiba di Austria, bagaimana cara mas Andy beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan akademik?

Pertama-tama saya beradaptasi dengan cuaca, karena saat itu saya datang di musim dingin, dan salju di Leoben sangat tebal (saya datang hari Minggu, akhir Januari 2015 dan salju di jalanan ketika saya datang dari Hbf menuju wohnung pertama mencapai  30 cm).

 

Kedua saya coba mempelajari budayanya. Di jurusan saya, tiap hari selalu ada waktu untuk minum kopi (atau teh) bersama tiap jam 10 pagi. Semua anggota di jurusan (Profesor, mahasiswa dan laboran) diharapkan untuk bisa datang. Topik obrolannya santai, kadang-kadang mahasiswa S3 juga ngobrol tentang risetnya disana.  Karena obrolannya umumnya dalam bahasa Jerman (dan dialek Steiermark atau Steirisch), saya bertekad untuk bisa memahami apa yang mereka bicarakan.

 

Selama 1,5 tahun pertama, saya mengambil kursus Jerman hingga level B1. Setelah lulus, saya mulai sedikit paham apa yang mereka bicarakan tiap hari di jam ngopi dan mulai untuk tidak pasif dan nimbrung ngobrol di “round table” itu. Saya salut karena orang-orang disini mau mendengarkan sampai kalimat selesai dan mengoreksi gramatik saya ketika saya kesulitan menemukan bahasa Jerman yang sesuai. Saya sering mencampur bahasa Jerman dengan Inggris, kemudian mereka membantu menerjemahkan dalam bahasa Jerman, sehingga saya jadi belajar banyak dengan metode tersebut.

Setelah beberapa waktu, akhirnya di akhir tingkat 2 hingga lulus, saya mulai beranikan untuk bimbingan dengan Prof dalam bahasa Jerman. Kalau saya dan Prof sama-sama bingung, ya kita lanjutkan dalam bahasa Inggris.  Hehehe.

 

Untuk beradaptasi dengan lingkungan akademik, saya diberikan waktu selama 6 bulan pertama untuk bekerja mandiri dan menulis proposal tentang penelitian saya, sambil pembimbing saya melihat kinerja saya selama itu. Saya mengambil kuliah secepat mungkin di 1,5 tahun pertama supaya di tahun kedua dan ketiga saya bisa melakukan hal lain.

 

Apa saja hal-hal yang harus dimanfaatkan  seorang PhD student terutama saat menjalani pendidikan di Austria?

Yang harus dimanfaatkan sebagai PhD student adalah: STATUS MAHASISWA. Menurut saya itu yang sangat berharga, karena banyak sekali kesempatan untuk meng-apply beasiswa tambahan (misalkan travel grant, research grant, Bernd Rode atau mobility award dari OeAD atau LPDP dst), asalkan kita masih berstatus mahasiswa.

Selama 3 tahun masa studi saya, yang saya ingat saya mengirim 8 proposal:

  1. 3x ke Society of Economic Geology,
  2. 1x Bernd Rode Award,
  3. 1x travel grant OeAD, kerjasama Montan dengan ITB untuk berkunjung ke Indonesia dan pengambilan data,
  4. 1x travel grant ke Kanada oleh Society of Geology Applied for Mineral Deposits,
  5. 1x travel grant untuk datang ke Wina dari European Geochemistry Union,
  6. 1x research grant LPDP

Alhamdulillah, dari semua proposal, hanya 2 proposal yang disetujui (travel grant ke Kanada dan ke Indonesia). Tapi berkat kegagalan itu, saya jadi terbiasa muter lagu dangdutnya Meggie Z, “jatuh bangun”. 

 

Apa saja tantangan sebagai seorang PhD student?

Bekerja secara mandiri kadang-kadang membuat kita terlena. “Aaah, hari ini tidak usah ke kampus, kerja di rumah saja”, atau, “Minggu depan saja nge-lab-nya, sekarang baca paper dulu”. Pengalaman saya, kalau kita tidak mempunyai rencana apa yang mau kita lakukan, waktu kita akan habis pada “surfing” dan “save as” jurnal saja.

 

Sebisa mungkin sesuaikan antara jadwal “ngantor”kita dengan rekan yang lain. Kalau mereka masuk 40 jam seminggu, ya kita ikut saja seperti mereka, supaya ketika kesusahan kita bisa bertanya pada teman atau professor. Mahasiswa doktorat sering merasa sendiri karena topik antara yang sangat unik dan berbeda dengan mahasiswa lain. Di saat seperti itu, kita harus tetap berkomunikasi dengan dengan yang lain.

 

Kedua, perjalanan studi itu ibarat lari marathon, bukan lari sprint. Kalau kita genjot dan keluarkan semua tenaga tanpa perhitungan, terus loyo di tahun berikutnya, kan tidak ada artinya. Saya bagi beban doktorat dalam 3 tahun itu, supaya tidak over stress di tahun terakhir. Punyai hobi itu sangat penting, karena itu akan membuat kita relax. Saya selalu mempunyai waktu untuk bersepeda dan naik gunung di weekend, sehingga hari Senin sudah fit lagi. Ketika sedang suntuk, saya biasanya blogging di andyyahya.com, kadang juga mengisi artikel di anakbertanya.com.

 

Pernahkah mas Andy merasa berada di titik terendah selama menjalani peran sebagai mahasiswa?

Wah, sudah seperti roller coaster, seperti yang saya bilang naik turun itu sudah biasa. Saya ceritakan tidak enaknya saja ya.

 

Contohnya semasa kuliah sarjana, saya diamanahi menjadi ketua himpunan mahasiswa tambang (HMT ITB). Ketika itu saya akan melantik mahasiswa angkatan baru dan semua jadwal sudah saya sampaikan kepada ketua program studi. karena oknum dosen jurusan lain yang melaporkan bahwa terjadi Ospek dan mahasiswa sedang long march di Jl Cisitu (Bandung). Walaupun acara berjalan aman, saya tetap harus disidang di Fakultas dan diturunkan sebagai ketua himpunan sebelum masa habisnya periode yang kurang 2 bulan lagi. Rasanya tidak enak sekali mendapat hukuman padahal semua sudah dikomunikasikan dan direncanakan dengan matang.

 

Saat studi doktorat, saya sempat di bawah ketika saya tahu bahwa ada 2 orang lain selain saya yang sedang melakukan riset di tempat yang sama dengan metode (yang dulu saya asumsikan) sama. Akhirnya saya bingung dan bertanya kepada pembimbing saya, apa perlu saya ganti topik? Tidak usah kata beliau. Saya diminta untuk berkomunikasi dengan yang lain, dan meminta untuk membagi 1 potong roti sama rata. Tiap orang mengambil jatah rotinya sendiri-sendiri.  Ternyata semuanya berjalan dengan lancar. 2 dari 3 tersebut akhirnya lulus dan tidak ada masalah hingga saat ini.

 

Bagaimana cara mas Andy membagi waktu antara tanggungjawab keluarga dan tanggungjawab akademis?

Keluarga saya datang ketika saya sudah menjomblo selama 7 bulan dan anak saya berumur 1 tahun.  Karena keluarga sudah datang sejak awal, mereka akhirnya tahu rutinitas dan kepenatan seorang mahasiswa doktorat.

 

Saya sepakat dengan istri, Senin hingga Jumat dari jam 8 hingga 17 atau 18 malam itu saya fokuskan untuk riset, sedangkan malam hari dan weekend saya habiskan bersama keluarga. Apa tidak lembur? Saya hanya akan lembur kalau sedang perlu, ketika anak istri sudah tidur. Kalau perlu lembur di saat mereka sedang terbangun, saya permisi dulu supaya tidak “dikacangin”. Semua saya komunikasikan, karena saya percaya, kesuksesan apapun dimulai dari komunikasi yang baik.

 
Berfoto bersama Keluarga Tercinta di Dolomiten, Italy (2016)


Apa saja tantangan sebagai seorang PhD student yang membawa keluarganya?

Yang palung utama jelas dana, karena di dalam komponen beasiswa saya tidak ada anggaran keluarga. Uang beasiswa selama ini alhamdulillah cukup untuk saya dan istri-anak saya, karena biaya hidup di Leoben yang tidak terlampau mahal dibanding kota lain. Fyi, kami tidak mendapat bantuan dari Indonesia karena saya belum berstatus PNS, dan tidak ada tunjangan dari asuransi (GKK) atau Finanzamt.  Sebenarnya sempat mendapat tunjangan selama 4 bulan, tapi di penghujung setelah saya lulus saya harus mengembalikan tunjangan tersebut (1,5 bulan) karena ada kewajiban untuk mengecekkan anak di umur-umur tertentu, dan kami baru tahu di akhir-akhir. Alhamdulillah istri saya bisa mensyukuri dan sabar, hidup bertiga dengan satu beasiswa itu gampang-gampang susah. Kami tidak menyesal tidak bisa banyak berjalan-jalan seperti yang lain, karena ternyata bahagia itu ketika kita bersyukur dengan apa yang kita punyai saat itu.

 

Boleh cerita tentang risetnya sedikit dan apa harapan mas Andy terkait riset tersebut bagi Indonesia?

Saya meneliti tentang potensi emas di dekat Toraja, Sulawesi Selatan (deposit Awak Mas dan Salu Bullo). Saya mengumpulkan sampel batuan dari singkapan (sebutan untuk batuan yang tersingkap di permukaan) dan hasil pemboran untuk diteliti secara mineralogi dan geokimia. Batuan tersebut dipotong dan dibuat sayatan tipis dan/atau poles untuk diamati dengan mikroskop optik dan elektron. Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan jenis mineral, rumus kimia dari berbagai mineral silikat, sulfida dan karbonat, dsb. Batuan juga digerus dan dilarutkan untuk dilihat komposisi kimianya (major-trace-minor elements, stabil isotop), serta menentukan kondisi (temperatur, tekanan, waktu) terbentuknya urat emas.

 

Tipe endapan emas yang berada di Toraja ini sangat unik karena berbeda dengan tipe endapan lainnya di Indonesia. Umumnya endapan emas di Indonesia berada di zona bertumbukan dua lempeng dan di zona aktif (misalkan di sepanjang pesisir Sumatera dan Jawa) dan berdekatan dengan gunung berapi yang aktif. Endapan emas di Toraja tidak berhubungan dengan gunung berapi dan berada di komplek batuan metamorf. Karena keterdapatan tipe endapan emas tipe ini (emas tipe orogenik) sangat jarang dijumpai di Indonesia, maka saya berharap riset ini bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan, terutama bidang geologi dan eksplorasi. Selain itu, riset tentang mineralogi sangat sedikit karena terbatasnya dana dan alat. Saya berharap ke depan peralatan yang mahal-mahal itu (umumnya mikroskop elektron – EMPA) bisa ada di Indonesia.
Mendulang Emas bersama-sama Masyarakat Suku Dayak di Long Apari, Kab Mahakam Ulu, Kaltim (2014)

Pesan untuk teman-teman yang masih dalam proses menjalani pendidikan?

Professor saya pernah bilang seperti ini ketika dia mengakhiri kuliah umumnya di Quebec City September lalu: „there is always a light at the end of tunnel“. Di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Draft disertasi selalu terlihat sampah, tapi kalau dipoles terus menerus, pasti akan jadi buku yang berkualitas. Dijalani saja semua fase nya dengan sabar, karena teman-teman PhD kita pun merasakan yang sama. Sekarang bersusah-susah dulu, nanti kalau sudah tiba waktunya, pasti terasa indah.

 
Pembicara BRKD Tahun 2016 Yang diorganisir oleh PPI Austria


Oh ya, ini juga yang tidak kalah pentingnya. Walaupun kita sudah merencanakan sesuatu dengan teratur, kita tetap harus fleksibel dan “nurut “dengan pemimbing kita. Pembimbing kita yang bisa melihat progress dan menunjukkan kita ke arah yang benar. Ada progress maupun tidak, tetap usahakan untuk meng-update perkembangan riset dengan pembimbing.

 

Terimakasih mas Andy telah meluangkan waktu untuk PPI Austria.

Sama-sama, sukses selalu untuk PPI Austria.

 

Salam.

No comments:

Post a Comment