/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Tuesday, 1 May 2018

Impor Dosen Asing, Hadiah di Hari Pendidikan Nasional

Oleh : Dr. Rachmat Adhi Wibowo


Banyak jalan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan penelitian di tanah air tentunya. Mulai dari peningkatan fasilitas pengajaran, pemberian insentif proposal untuk para dosen, pemberian penghargaan penelitian, hibah dana penelitian bersaing hingga pemberian insentif publikasi internasional. Setidaknya itu yang sudah dijalankan oleh universitas, lembaga penelitian maupun oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi -KemenRistekDikTi. Dari beberapa program yang sifatnya insentif tersebut, beberapa hari terakhir jagat dunia pendidikan tinggi tanah air disibukkan dengan kritik akan rencana pemerintah mengundang dosen asing -setidaknya 200 orang-  untuk mengajar dan mungkin juga meneliti di kampus-kampus tanah air.

Jika melihat dunia akademik atau penelitian global, keberadaan pengajar atau peneliti asing di sebuah universitas dan lembaga penelitian suatu negara adalah hal yang sudah jamak alias bukanlah hal yang baru terjadi. Tengoklah negara jiran Singapura misalnya. Sumber daya manusianya yang sangat minim memaksa mereka untuk “mengimpor” sumber daya dari negara lain, termasuk dosen/ professor dan peneliti. Bahkan tidak tanggung-tanggung, bukan hanya tenaga asing untuk mengisi pos-pos level “ecek-ecek”, Singapura sudah membuka diri jauh untuk mengundang tenaga asing menduduki pos-pos penting nan strategis untuk menunjang kemampuan daya asing negaranya di pelbagai bidang, termasuk bidang pendidikan atau penelitian.


Penulis yang pernah bekerja sebagai Research Fellow di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, telah merasakan hal ini secara langsung. Rektor NTU sendiri pernah dipegang oleh orang Swedia. Belakangan NTU mengimpor profesor berkebangsaan Amerika untuk menjadi Rektor mendatang. Tidak tanggung-tanggung, yang diimpor ialah seorang mantan Kepala National Science Foundation-nya Amerika yang merupakan sebuah lembaga pemberi dana penelitian kelas wahid.

Negara jiran lain Malaysia juga membuka lebar-lebar pintu masuknya dosen maupun peneliti berkebangsaan asing di negaranya untuk mengisi posisi-posisi yang bersaing dengan tenaga pribumi. Kebetulan beberapa kawan dekat penulis yang putra asli tanah air juga menjadi profesor di beberapa kampus di Malaysia.

Dan kita pun mahfum jika baik Singapura maupun Malaysia mendapat banyak keuntungan dari keberadaan tenaga asing di bidang pendidikan maupun penelitian. Mulai dari kualitas pengajaran di kampus, kuantitas publikasi ilmiah hingga reputasi negara bersangkutan yang mulai dilirik di kancah pendidikan dan penelitian. Pada akhirnya, berbondong-bondonglah mahasiswa asing -termasuk mahasiswa Indonesia- yang menuntut ilmu di Singapura atau Malaysia mengingat level kualitas mereka yang di atas rata-rata pendidikan dan penelitian di tanah air.

Lantas mengapa rencana KemenRistekDikti untuk meniru jejak keberhasian negara jiran di atas dalam mengundang profesor asing ke kampus-kampus di tanah air justru mengundang banyak tentangan?

Sebagaimana yang diberitakan, program KemenRistekDikti ini memberi imbalan gaji paling besar kepada dosen asing sebesar 65 juta-an per bulan mungkin setara dengan USD 4000/bulan. Artinya, dosen asing ini memperoleh gaji belasan kali lebih besar dari dosen „lokal“ di kampus yang sama. Tentu saja dengan kedatangan dosen asing yang dirangsang dengan insentif gaji lumayan besar, maka akan diharapkan akan ada perubahan signifikan yang dibawa ke dalam dunia akademik di Indonesia. Paling sederhana ialah peningkatan kualitas dan kuantititas pulikasi ilmiah internasional yang ditelurkan dari kampus-kampus tanah air. Sayangnya kenyataan di dunia akademik maupun penelitian kita memiliki banyak faktor yang justru akan memuat program tersebut layu sebelum berkembang.

Pertama, kesiapan lembaga akademik atau penelitian di tanah air untuk menjadi „host“ dosen asing tersebut. Yakni apalagi jika bukan persoalan birokrasi. Mengundang dosen asing -apalagi dosen asing berkualitas- juga membutuhkan fasilitas birokrasi yang berkualitas pula. Misalnya, ketika dosen yang bersangkutan membutuhkan bantuan segera persoalan keimigrasian, lapor diri, perpanjangan izin tinggal hingga persoalan pelayanan yang membutuhkan stempel kampus yang bersangkutan, membutuhkan gerak cepat birokrasi kampus. Gerak cepat birokrasi ini untuk menunjang aktifitas dosen asing berkualitas bukan hal yang dapat ditawar. Intinya adalah, bagaimana menyediakan dukungan birokrasi yang sama dengan seperti yang ia dapatkan di negara asalnya. Nah, birokrasi kampus di tanah air memang terkenal sangat kompleks. Ketika kampus dunia tengah mengalami pergeseran ke arah digital bureaucracy, yang membawa konsekuensi semua serba digital dan cepat tanpa perlu „stempel“ fisik, persoalan di kampus tanah air masih berkutan pada isu pelayanan profesional insan birokrasi. Artinya, level birokrasi kita belum setara dengan level birokrasi tempat dosen asing tersebut berasal. Untuk yang pernah kuliah di kampus luar negeri, pastilah sudah merasakan bagaimana pelayanan divisi Foreign Affair atau Student Service dsb di kampus luar negeri yang sudah mapan, cepat dan professional mendukung tidak hanya mahasiswa asing, namun juga staf pengajar asingnya. Bisakah prasyarat birokrasi yang bermutu dan professional ini sudah dijadikan agenda sebelum mengundang dosen asing? Toh birokrasi kampus yang profesional bukan hanya diperuntukkan untuk melayani dosen asing, melainkan memang sebuah bahagian dari lembaga akademik dan penelitian sebagai center of excellence.

Yang kedua ialah kesiapan fasilitas penunjang kegiatan akademik maupun penelitian. Penunjang kegiatan akademik misalnya ialah fasilitas laboratorium. Program mengundang dosen asing mudah-mudahan sudah memperhitungkan investasi yang proporsional untuk membenahi fasilitas ini. Jika dosen asing yang diundang ialah seorang profesor kimia misalnya, maka dia harus disupport oleh kondisi laboratorium kimia untuk praktikum dengan fasllitas yang baik. Yang terlihat sepele namun sangat esensial untuk sebuah laboratorium kimia ialah ketersediaan sistem pembuat air terdestilasi dengan kemurnian tinggi atau terkenal dengan di-ionised/distilled water (DI Water). DI Water digunakan untuk membuat seluruh larutan kimia, baik untuk praktikum mahasiswa maupun penelitian. Sayangnya, alat untuk memproduksi DI Water termasuk barang mewah di kampus-kampus tanah air. Harga pasaran alat ini sebesar gaji sang dosen asing itu sendiri sehingga tidak semua laboratorium Kimia (dan Biologi juga) memiliki alat wajib ada ini. Tidaklah lucu jika dosen asing mendapati mahasiswa Indonesia membuat larutan asam sulfat atau mendispersikan DNA dengan pelarut air keran atau air tadahan dari tetesan Air Conditioner (AC). Sebagaimana kasus birokrasi di atas, memperbaiki fasililitas pengajaran maupun penelitian mutlak dikerjakan bahkan tanpa perlu membuat program mengundang dosen asing sekalipun. Hal yang sama dengan situasi mutakhir penelitian kita. Hasil penelitian insan akademik dan penelitian di tanah air yang masih kurang memuaskan bukanlah persoalan apakah dosennya lokal maupun asing semata. Namun ada pada sejauh mana kita membangun iklim penelitian yang baik sesuai dengan perannya masing-masing. 


Peran KemenRistekDikti sendiri semestinya menyediakan arahan sekaligus pendanaan penelitian untuk aktifitas intelektual di tanah air. Sebagai contoh praktis, dosen di universitas maupun peneliti di lembaga penelitian mutlak disediakan sebuah program penelitian di mana mereka dapat mengirimkan proposal penelitiannya sesuai dengan program yang pas. Misal, program nasional kendaraan listrik akan dibuatkan program penelitian untuk bidang-bidang yang terkait. Program ini menampung dan memberikan dana penelitian untuk proposal-proposal terbaik di bidang yang akan menunjang ambisi nasional membuat kendaraan listrik, mulai dari sistem elektroniknya, sistem baterei, material untuk membuat baterei hingga sistem pengujiannya dsb. Atau program penelitian renewable energy hasil arahan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017. Yang mewadahi penelitian dan pemberian dana untuk penelitian di bidang sel surya, material lanjut untuk aplikasi energi, sel bakar dsb.


Contohnya seperti yang dilakukan di Austria. Lembaga pemberi dana penelitian Austria, Forschungsforderungsgemainschaft (FFG) atau Austrian Research Promotion Agency di bawah Kementrian Transportasi, Inovasi dan Teknologi membuat program tahunan di bidang Energy Research yang mewadahi penelitian-penelitian terpadu di bidang teknologi baru (Emerging Technology), sel surya (Photovoltaics), thermal surya (Solar Thermal), tenaga angin (Wind Energy) dsb. Program ini didanai oleh dana public dengan besar total rata-rata 20 juta Euro per tahun. Dengan adanya program tahunan ini, setiap tahunnya dosen maupun peneliti di Austria dapat kesempatan untuk mengirimkan proposal penelitian sesuai dengan bidang kepakarannya masing-masing. Dan dengan sifatnya yang berkala ini, maka ada kesinambungan penelitian dan titik fokus dari aktifitas dosen dan peneliti tersebut membangun kredibilitas dan spesialisasi. Ini baru untuk bidang energi. Program lain masih menunggu semisal program Smart City, program transportasi, program Information technology dan banyak lagi dengan masing-masing total dana yang sama besarnya. Dan hampir semua negara sebenarnya memiliki program tahunan seperti program di negara Austria ini.
Pertanyaannya ialah, jika program penelitian berkesinambungan lengkap dengan pendanaannya tidak tersedia di Indonesia, lantas apa yang akan diteliti oleh dosen asing? Jangankan dosen asing, dosen dan peneliti kita sendiri sejauh ini tidak memliki banyak pilihan untuk meraih dana penelitian untuk membangun kepakaran dan melahirkan karya-karya ilmiah berkelas. Jika tidak ada penelitian, apa yang hendak ditulis di publikasi ilmiah nantinya? Dan jika tidak ada dana penelitian, bagaimana cara untuk meng-upgrade kualitas laboratorium kimia dengan alat-alat yang memadai?

Yang ketiga dan terakhir ialah daya tarik Indonesia di mata tenaga kerja intelektual asing untuk pindah atau bekerja (meski sementara) di Indonesia.
Konon KemenRistekDikti menginginkan dosen-dosen asing yang berkualitas-lah yang akan menstimulus pendidikan dan penelitian di tanah air. Perhatikan kata „dosen asing yang berkualitas“. Tolok ukur berkualitas di sini sangatlah sederhana; (i) asal universitas atau lembaga penelitian, (ii) jumlah publikasi ilmiah atau paten dan/atau (iii)  status keanggotan yang bersangkutan di perkumpulan bidang kepakarannya.
Taruhlah jika jumlah publikasi ilmiah yang dijadikan ukuran utama. Maka artinya, selama dosen asing tersebut produktif menelurkan publikasi ilmiah per tahun, tandanya dia memenangi dana penelitian dengan cukup sering yang sebanding dengan jumlah publikasi ilmiahnya. Hal ini mudah dicerna, karena ada dana penelitian maka ada penelitian yang hasilnya dipublikasikan. Jika ada dana penelitian yang terus didapat, maka di negaranya pastilah ada program penelitian berkesinambungan dengan gambaran seperti apa yang saya tuliskan di atas. Jika ada publikasi ilmiah dan dana penelitian, dapat dipastikan yang bersangkutan memiliki kelompok riset yang produktif, terdiri dari mahasiswa-mahasiswa doktoral dibantu dengan mahasiswa-mahasiswa level master. Ditambah lagi dengan laboratorium penelitian yang jauh dari kata sekedar memadai.
Pertanyaannya, apakah ia akan mendapatkan itu semua ketika ia bekerja di negara kita? Jika satu-satunya hal yang kita tawarkan ialah gaji 65 juta rupiah per bulan atau USD 4000/bulan, apakah dosen asing akan mengorbankan dirinya untuk menghadapi ketiadaan iklim penelitian yang maju, lengkap dengan keterbatasan birokrasi kampus plus minim dana penelitian? Apa yang akan dosen asing tersebut tulis untuk dipublikasikan jika tidak ada support dana penelitian yang berkelanjutan selama ia mengajar di kampus atau meneliti lembaga penelitian Indonesia? Dengan kondisi kita sekarang ini, sebenarnya kita harus jujur bahwa tidak ada daya tarik Indonesia dari sisi keilmuan untuk menarik dosen asing yang berkelas.
Maka, jika ada dosen/profesor atau peneliti asing yang berminat ke Indonesia, maka perlu ditelusuri apakah yang bersangkutan sudah gagal berkompetisi meraih dana penelitian di negara asalnya, ataukah malah sudah menjelang pensiun.
Program yang lebih memberikan dampak positif yang dapat diajukan untuk memajukan pendidikan tinggi dan penelitian di tanah air sudah semestinya membangun pondasi iklim penelitian dan infrastrukturnya.

Dengan mengadakan program penelitian berkelanjutan yang sifatnya tematik lengkap dengan dana penelitian yang terjamin keberadaannya, persoalan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian sudah menuju ke titik terang. Dan sasaran dari program ini tidak lain ialah dosen dan peneliti kita sendiri. Mungkin jika kita memang belum mampu meningkatkan gaji dosen atau peneliti kita, dengan adanya program penelitian yang selalu merangsang dosen atau peneliti menulis proposal dan memenangkan dana penelitian yang kompetitif, maka akan terbangun iklim penelitian yang baik lengkap dengan output publikasi ilmiah, doktor cetakan dalam negeri plus paten untuk mengkomerisaliasikan hasil penelitiannya.

Tapi jika KemenRistekDikti mampu menganggarkan USD 4000/bulan untuk 200 dosen asing, masak iya menggelontorkan dana penelitian dengan nilai yang sama tidak mampu? Kelihatannya persoalannya lebih ada pada kehilangan kapasitas membangun visi yang jauh ke depan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional


Wina, Austria, 25 April 2018.


Pada saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Austrian Institute of Technology.

Profil selengkapnya dapat dilihat disini dan disini.

Publikasi ilmiah yang telah dihasilkan dapat dilihat disini.

Friday, 9 February 2018


PPI Austria 2018

PhD Story : Dr.mont. Andy Yahya Al Hakim
Foto setelah Rigorosum (Defense, 2017)

Hallo Mas Andy, sebelumnya kami mengucapkan selamat atas keberhasilan mas Andy dalam menyelesaikan pendidikan S3 di Chair of Geology and Economic Geology Montanuniversität Leoben, Austria.

 

Apakah boleh diceritakan, bagaimana proses awal saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Austria?

Terima kasih untuk ucapannya. Tahun 2013, saya mulai mendapat informasi bahwa ada kesempatan doktorat di Austria melalui beasiswa OeAD (saat itu beasiswa bernama Technology grants, sekarang bernama Ernst Mach). Saya berniat untuk mencoba saja, karena aplikasi saya di Jepang, Australia dan Kanada ternyata belum bersambut (tidak lolos seleksi, tidak ada dana, dsb).

 

Saya coba mencari Profesor di Austria yang mempunyai bidang keahlian yang mirip dan memulai perkenalan via email. Saat itu belum ada lulusan di bidang saya yang studi di jurusan itu, sehingga saya memulai komunikasinya dari awal. Alhamdulillah saya bertemu dengan Prof Frank Melcher, yang menyambut proposal saya dengan positif. Saya bersyukur bisa diterima di Montanuniversitaet Leoben karena sekolah ini adalah salah satu sekolah tambang yang terkenal di dunia dan mempunyai laboratorium yang mutakhir.

 

Proses seleksi dan aplikasi visa+residence permit berjalan hampir 1,5 tahun (pertengahan 2013),  akhirnya saya tiba di Austria pada 31 Januari 2015.

 
 Fieldtrip di Abisko, Swedia (2017)
Setelah tiba di Austria, bagaimana cara mas Andy beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan akademik?

Pertama-tama saya beradaptasi dengan cuaca, karena saat itu saya datang di musim dingin, dan salju di Leoben sangat tebal (saya datang hari Minggu, akhir Januari 2015 dan salju di jalanan ketika saya datang dari Hbf menuju wohnung pertama mencapai  30 cm).

 

Kedua saya coba mempelajari budayanya. Di jurusan saya, tiap hari selalu ada waktu untuk minum kopi (atau teh) bersama tiap jam 10 pagi. Semua anggota di jurusan (Profesor, mahasiswa dan laboran) diharapkan untuk bisa datang. Topik obrolannya santai, kadang-kadang mahasiswa S3 juga ngobrol tentang risetnya disana.  Karena obrolannya umumnya dalam bahasa Jerman (dan dialek Steiermark atau Steirisch), saya bertekad untuk bisa memahami apa yang mereka bicarakan.

 

Selama 1,5 tahun pertama, saya mengambil kursus Jerman hingga level B1. Setelah lulus, saya mulai sedikit paham apa yang mereka bicarakan tiap hari di jam ngopi dan mulai untuk tidak pasif dan nimbrung ngobrol di “round table” itu. Saya salut karena orang-orang disini mau mendengarkan sampai kalimat selesai dan mengoreksi gramatik saya ketika saya kesulitan menemukan bahasa Jerman yang sesuai. Saya sering mencampur bahasa Jerman dengan Inggris, kemudian mereka membantu menerjemahkan dalam bahasa Jerman, sehingga saya jadi belajar banyak dengan metode tersebut.

Setelah beberapa waktu, akhirnya di akhir tingkat 2 hingga lulus, saya mulai beranikan untuk bimbingan dengan Prof dalam bahasa Jerman. Kalau saya dan Prof sama-sama bingung, ya kita lanjutkan dalam bahasa Inggris.  Hehehe.

 

Untuk beradaptasi dengan lingkungan akademik, saya diberikan waktu selama 6 bulan pertama untuk bekerja mandiri dan menulis proposal tentang penelitian saya, sambil pembimbing saya melihat kinerja saya selama itu. Saya mengambil kuliah secepat mungkin di 1,5 tahun pertama supaya di tahun kedua dan ketiga saya bisa melakukan hal lain.

 

Apa saja hal-hal yang harus dimanfaatkan  seorang PhD student terutama saat menjalani pendidikan di Austria?

Yang harus dimanfaatkan sebagai PhD student adalah: STATUS MAHASISWA. Menurut saya itu yang sangat berharga, karena banyak sekali kesempatan untuk meng-apply beasiswa tambahan (misalkan travel grant, research grant, Bernd Rode atau mobility award dari OeAD atau LPDP dst), asalkan kita masih berstatus mahasiswa.

Selama 3 tahun masa studi saya, yang saya ingat saya mengirim 8 proposal:

  1. 3x ke Society of Economic Geology,
  2. 1x Bernd Rode Award,
  3. 1x travel grant OeAD, kerjasama Montan dengan ITB untuk berkunjung ke Indonesia dan pengambilan data,
  4. 1x travel grant ke Kanada oleh Society of Geology Applied for Mineral Deposits,
  5. 1x travel grant untuk datang ke Wina dari European Geochemistry Union,
  6. 1x research grant LPDP

Alhamdulillah, dari semua proposal, hanya 2 proposal yang disetujui (travel grant ke Kanada dan ke Indonesia). Tapi berkat kegagalan itu, saya jadi terbiasa muter lagu dangdutnya Meggie Z, “jatuh bangun”. 

 

Apa saja tantangan sebagai seorang PhD student?

Bekerja secara mandiri kadang-kadang membuat kita terlena. “Aaah, hari ini tidak usah ke kampus, kerja di rumah saja”, atau, “Minggu depan saja nge-lab-nya, sekarang baca paper dulu”. Pengalaman saya, kalau kita tidak mempunyai rencana apa yang mau kita lakukan, waktu kita akan habis pada “surfing” dan “save as” jurnal saja.

 

Sebisa mungkin sesuaikan antara jadwal “ngantor”kita dengan rekan yang lain. Kalau mereka masuk 40 jam seminggu, ya kita ikut saja seperti mereka, supaya ketika kesusahan kita bisa bertanya pada teman atau professor. Mahasiswa doktorat sering merasa sendiri karena topik antara yang sangat unik dan berbeda dengan mahasiswa lain. Di saat seperti itu, kita harus tetap berkomunikasi dengan dengan yang lain.

 

Kedua, perjalanan studi itu ibarat lari marathon, bukan lari sprint. Kalau kita genjot dan keluarkan semua tenaga tanpa perhitungan, terus loyo di tahun berikutnya, kan tidak ada artinya. Saya bagi beban doktorat dalam 3 tahun itu, supaya tidak over stress di tahun terakhir. Punyai hobi itu sangat penting, karena itu akan membuat kita relax. Saya selalu mempunyai waktu untuk bersepeda dan naik gunung di weekend, sehingga hari Senin sudah fit lagi. Ketika sedang suntuk, saya biasanya blogging di andyyahya.com, kadang juga mengisi artikel di anakbertanya.com.

 

Pernahkah mas Andy merasa berada di titik terendah selama menjalani peran sebagai mahasiswa?

Wah, sudah seperti roller coaster, seperti yang saya bilang naik turun itu sudah biasa. Saya ceritakan tidak enaknya saja ya.

 

Contohnya semasa kuliah sarjana, saya diamanahi menjadi ketua himpunan mahasiswa tambang (HMT ITB). Ketika itu saya akan melantik mahasiswa angkatan baru dan semua jadwal sudah saya sampaikan kepada ketua program studi. karena oknum dosen jurusan lain yang melaporkan bahwa terjadi Ospek dan mahasiswa sedang long march di Jl Cisitu (Bandung). Walaupun acara berjalan aman, saya tetap harus disidang di Fakultas dan diturunkan sebagai ketua himpunan sebelum masa habisnya periode yang kurang 2 bulan lagi. Rasanya tidak enak sekali mendapat hukuman padahal semua sudah dikomunikasikan dan direncanakan dengan matang.

 

Saat studi doktorat, saya sempat di bawah ketika saya tahu bahwa ada 2 orang lain selain saya yang sedang melakukan riset di tempat yang sama dengan metode (yang dulu saya asumsikan) sama. Akhirnya saya bingung dan bertanya kepada pembimbing saya, apa perlu saya ganti topik? Tidak usah kata beliau. Saya diminta untuk berkomunikasi dengan yang lain, dan meminta untuk membagi 1 potong roti sama rata. Tiap orang mengambil jatah rotinya sendiri-sendiri.  Ternyata semuanya berjalan dengan lancar. 2 dari 3 tersebut akhirnya lulus dan tidak ada masalah hingga saat ini.

 

Bagaimana cara mas Andy membagi waktu antara tanggungjawab keluarga dan tanggungjawab akademis?

Keluarga saya datang ketika saya sudah menjomblo selama 7 bulan dan anak saya berumur 1 tahun.  Karena keluarga sudah datang sejak awal, mereka akhirnya tahu rutinitas dan kepenatan seorang mahasiswa doktorat.

 

Saya sepakat dengan istri, Senin hingga Jumat dari jam 8 hingga 17 atau 18 malam itu saya fokuskan untuk riset, sedangkan malam hari dan weekend saya habiskan bersama keluarga. Apa tidak lembur? Saya hanya akan lembur kalau sedang perlu, ketika anak istri sudah tidur. Kalau perlu lembur di saat mereka sedang terbangun, saya permisi dulu supaya tidak “dikacangin”. Semua saya komunikasikan, karena saya percaya, kesuksesan apapun dimulai dari komunikasi yang baik.

 
Berfoto bersama Keluarga Tercinta di Dolomiten, Italy (2016)


Apa saja tantangan sebagai seorang PhD student yang membawa keluarganya?

Yang palung utama jelas dana, karena di dalam komponen beasiswa saya tidak ada anggaran keluarga. Uang beasiswa selama ini alhamdulillah cukup untuk saya dan istri-anak saya, karena biaya hidup di Leoben yang tidak terlampau mahal dibanding kota lain. Fyi, kami tidak mendapat bantuan dari Indonesia karena saya belum berstatus PNS, dan tidak ada tunjangan dari asuransi (GKK) atau Finanzamt.  Sebenarnya sempat mendapat tunjangan selama 4 bulan, tapi di penghujung setelah saya lulus saya harus mengembalikan tunjangan tersebut (1,5 bulan) karena ada kewajiban untuk mengecekkan anak di umur-umur tertentu, dan kami baru tahu di akhir-akhir. Alhamdulillah istri saya bisa mensyukuri dan sabar, hidup bertiga dengan satu beasiswa itu gampang-gampang susah. Kami tidak menyesal tidak bisa banyak berjalan-jalan seperti yang lain, karena ternyata bahagia itu ketika kita bersyukur dengan apa yang kita punyai saat itu.

 

Boleh cerita tentang risetnya sedikit dan apa harapan mas Andy terkait riset tersebut bagi Indonesia?

Saya meneliti tentang potensi emas di dekat Toraja, Sulawesi Selatan (deposit Awak Mas dan Salu Bullo). Saya mengumpulkan sampel batuan dari singkapan (sebutan untuk batuan yang tersingkap di permukaan) dan hasil pemboran untuk diteliti secara mineralogi dan geokimia. Batuan tersebut dipotong dan dibuat sayatan tipis dan/atau poles untuk diamati dengan mikroskop optik dan elektron. Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan jenis mineral, rumus kimia dari berbagai mineral silikat, sulfida dan karbonat, dsb. Batuan juga digerus dan dilarutkan untuk dilihat komposisi kimianya (major-trace-minor elements, stabil isotop), serta menentukan kondisi (temperatur, tekanan, waktu) terbentuknya urat emas.

 

Tipe endapan emas yang berada di Toraja ini sangat unik karena berbeda dengan tipe endapan lainnya di Indonesia. Umumnya endapan emas di Indonesia berada di zona bertumbukan dua lempeng dan di zona aktif (misalkan di sepanjang pesisir Sumatera dan Jawa) dan berdekatan dengan gunung berapi yang aktif. Endapan emas di Toraja tidak berhubungan dengan gunung berapi dan berada di komplek batuan metamorf. Karena keterdapatan tipe endapan emas tipe ini (emas tipe orogenik) sangat jarang dijumpai di Indonesia, maka saya berharap riset ini bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan, terutama bidang geologi dan eksplorasi. Selain itu, riset tentang mineralogi sangat sedikit karena terbatasnya dana dan alat. Saya berharap ke depan peralatan yang mahal-mahal itu (umumnya mikroskop elektron – EMPA) bisa ada di Indonesia.
Mendulang Emas bersama-sama Masyarakat Suku Dayak di Long Apari, Kab Mahakam Ulu, Kaltim (2014)

Pesan untuk teman-teman yang masih dalam proses menjalani pendidikan?

Professor saya pernah bilang seperti ini ketika dia mengakhiri kuliah umumnya di Quebec City September lalu: „there is always a light at the end of tunnel“. Di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Draft disertasi selalu terlihat sampah, tapi kalau dipoles terus menerus, pasti akan jadi buku yang berkualitas. Dijalani saja semua fase nya dengan sabar, karena teman-teman PhD kita pun merasakan yang sama. Sekarang bersusah-susah dulu, nanti kalau sudah tiba waktunya, pasti terasa indah.

 
Pembicara BRKD Tahun 2016 Yang diorganisir oleh PPI Austria


Oh ya, ini juga yang tidak kalah pentingnya. Walaupun kita sudah merencanakan sesuatu dengan teratur, kita tetap harus fleksibel dan “nurut “dengan pemimbing kita. Pembimbing kita yang bisa melihat progress dan menunjukkan kita ke arah yang benar. Ada progress maupun tidak, tetap usahakan untuk meng-update perkembangan riset dengan pembimbing.

 

Terimakasih mas Andy telah meluangkan waktu untuk PPI Austria.

Sama-sama, sukses selalu untuk PPI Austria.

 

Salam.

Saturday, 2 January 2016

Video Pendek: Kenal Lebih Dekat Ketua PPI Austria 2015

Kepengurusan PPI Austria 2015 telah berakhir dan kami ingin mempersembahkan video pendek (sebagai teaser untuk video pendek lainnya, hehe) tentang ketua kami ini yang bernama Miss Syifa Nurhanifah. Apa yang membuatnya tertarik untuk kuliah di luar negeri? Bagaimana ia menghadapi tantangan untuk menggapai impiannya? Dan apa motto hidupnya?

Cari tahu yuk :)

Terima kasih ibu Ketua atas kerja kerasnya membangun PPI Austria selama setahun ini. Sukses terus untuk PPI Austria!



Berita Kelulusan: Fainan Failamani

Selamat kepada Fainan Failamani yang telah lulus dari Program Phd Kimia University of Vienna yang telah ia tekuni dari tahun 2012. Dissertation defence-nya diadakan pada 14 Oktober 2015 dengan tema "Nanoscale Thermoelectric Materials". Informasi tentang programnya dapat dibaca melalu link berikut ini: http://ppiaustria.blogspot.co.at/2015/07/phd-story-fainan-failamani-kimia-uniwien.html

Berikut adalah video pendek tentang keinginannya kuliah di luar negeri, motivasinya dan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada murid-murid di Indonesia. 

Farewell Fainan Failamani, semoga sukses di Indonesia dan ilmunya dapat bermanfaat untuk bangsa Indonesia.


Aquarius, Gunung Besi dan Leoben

by Andy Yahya Al Hakim

Tiga orang berjalan di pinggir sungai untuk menangkap ikan. Di tengah perjalanan, mereka menemukan ikan yang sedang terperangkap dalam jebakan ikan. Mereka melepaskannya, dan tiba-tiba ikan itu berubah menjadi Aquarius, Dewa(i) Hujan. Aquarius berjanji akan mengabulkan tiga permintaan untuk ketiga orang itu. Mereka harus memilih, emas untuk  10 tahun, perak untuk 100 tahun dan besi untuk selamanya. Aquarius pun mengarahkan telunjuknya ke sebuah gunung, dan seketika jadilah gunung itu menjadi gunung emas, gunung perak dan gunung besi.




Aquarius dan kereta tambang. Lukisan Aquarius banyak dijumpai di antara kota Vordernberg dan kota Eisenerz 

Orang pertama memilih gunung emas, dan dalam waktu singkat dia menjadi orang kaya dan bergelimang harta dan anggur, akhirnya dia meninggal tidak lama setelah itu. Orang kedua mengalami nasib yang sama, bergelimang harta sehingga akhirnya dia harus kembali bekerja. Berbeda dengan orang ketiga, dimana dia yang memilih gunung besi memang harus berupaya berat di awal masa kerjanya, namun akhirnya dia dan keturunannya mendapatkan hasil yang banyak hingga saat ini. Dan, gunung besi itu bernama Erzberg (erz=bijih, dari bahasa Inggris "ore" , dan berg=gunung). Gunung itu terletak di kota Eisenerz (eisen=besi, erz=bijih), yang terletak 30 km di Utara di kota Leoben, tempat saya tinggal.


Legenda Aquarius (abaikan jumlah orang yang banyak di lukisan tersebut :D). Foto diambil di Prabichl, salah satu tempat terbaik untuk ski di Austria  

Erzberg merupakan tambang besi open pit terbesar di Eropa Tengah, dan sudah ditambang sejak jaman Romawi. Tambang ini juga merupakan asal mula berdirinya pabrik peleburan besi "voestalpine" (serupa dengan Krakatau Steel namun milik Austria), yang menjadi cikal bakal Montanuniversität Leoben yang dibangun pada tahun 1830. Pabrik pengolahannya berada di Donawitz, yang berjarak hanya 10 menit dari kampus Montan. Karena Erzberg inilah, kota Leoben menjadi cikal bakal kampus pertambangan dengan reputasi yang sangat baik.
Montan, merupakan kampus yang memiliki tradisi yang sangat kuat di bidang geologi, pertambangan dan perminyakan. Glück Auf adalah salam yang diucapkan hampir di semua negara berbahasa Jerman, ketika dua orang penambang bertemu, dengan harapan mereka akan mendapatkan hasil tambang yang banyak di hari itu. Glück Auf juga tertulis di bangunan utama kampus, dimana hingga saat ini, budaya Leder Sprung dan Philistrierung masih dijalankan.


Logo di gedung utama Montanuniversität Leoben ( oehontour.tumblr.com)
Leder Sprung adalah seremoni penambang jaman dahulu, dimana mereka harus melompati sebuah bendera kulit, sebagai tanda solidaritas sesama pekerja tambang ketika mereka direkrut dalam sebuah komunitas tambang. Mereka mengenakan Berg Kittel, sebuah setelan baju berwarna hitam, pakaian pekerja tambang abad 18 dulu. Di Leoben sendiri, mahasiswa masih menggunakannya untuk mengikuti beberapa ujian, terutama jika ujiannya lisan maupun ujian akhir kelulusan. Setelah kelulusan, mahasiswa Leoben melakukan seremoni menyanyikan lagu-lagu pekerja tambang jaman dulu, sambil mahasiswa yang lulus, diangkat oleh dua orang teman dekatnya, kemudian orang ketiga men-"jedug-jedug" kan punggung mahasiswa yang lulus tersebut ke sebuah papan besi di bawah tulisan Glück Auf. Setelah itu, mahasiswa diarak ke tengah kota dengan iring-iringan pemusik dan diarak di atas kuda sampai hauptplatz, kemudian si wisudawan harus berorasi sambil memeluk patung Bergmann, kemudian melompat dari patung itu ke kolam.

Budaya ini juga saya alami ketika saya lulus sarjana dari Bandung, istilahnya adalah penon-him-an.


Leder sprung juga dilakukan pada saat penganugerahan gelar Profesor di Leoben (www.kleinezeitung.at)


Philistrierung di gerbang depan gedung utama Montan (http://diepresse.com/)


Bergparade atau parade tambang, memperingati ulang tahun Montanuniversität Leoben pada Oktober 2015lalu (www.leoben.at)


Yang betul patung Bergmann nya dipeluk, bukan dinaiki. Lokasi: Hauptplatz Leoben www.corpserz.at


Hauptplatz Leoben menyambut perayaan Natal dan tahun baru (http://www.simskultur.net/)

Kampus ini diinisasi oleh Kaisar Erzherzog-Johann, seorang Kaisar yang menjabat di Provinsi Styria. Kaisar ini sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga disaat dia menjabat, dia membuat kampus Montan di Leoben dan TU Graz. Patung dari Kaisar ini bisa dilihat di Hauptplatz kota Graz, dimana patungnya diapit oleh empat patung lain. Empat patung tersebut menggambarkan empat sungai besar yang melintasi provinsi Styria, yaitu sungai Mur, sungai Drau, sungai Enns, dan sungai Sann.







Atas: patung Erzherzog-Johann dikelilingi 4 patung lain
Bawah: Berturut-turut (Drau, Mur, Enns, Sann) http://austria-forum.org/
Dan, untuk menutup sejarah Leoben ini, saya ucapkan 
Glück Auf


Andy Yahya Al Hakim
Penulis adalah mahasiswa Doktorat bidang Geologi di Montanuniversität Leoben sejak 2015 yang lalu. Penulis mempunyai hobi beraktivitas di alam dengan bersepeda dan aktif menulis di blog edukasi andyyahya.com dan anakbertanya.com