Oleh : Dr. Rachmat Adhi Wibowo
Banyak
jalan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan penelitian di
tanah air tentunya. Mulai dari peningkatan fasilitas pengajaran, pemberian
insentif proposal untuk para dosen, pemberian penghargaan penelitian, hibah
dana penelitian bersaing hingga pemberian insentif publikasi internasional.
Setidaknya itu yang sudah dijalankan oleh universitas, lembaga penelitian
maupun oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi -KemenRistekDikTi.
Dari beberapa program yang sifatnya insentif tersebut, beberapa hari terakhir
jagat dunia pendidikan tinggi tanah air disibukkan dengan kritik akan rencana
pemerintah mengundang dosen asing -setidaknya 200 orang- untuk mengajar dan mungkin juga meneliti di
kampus-kampus tanah air.
Jika melihat dunia akademik atau penelitian global, keberadaan pengajar atau
peneliti asing di sebuah universitas dan lembaga penelitian suatu negara adalah
hal yang sudah jamak alias bukanlah hal yang baru terjadi. Tengoklah
negara jiran Singapura misalnya. Sumber daya manusianya yang sangat minim memaksa mereka
untuk “mengimpor” sumber daya dari negara lain, termasuk dosen/ professor dan
peneliti. Bahkan tidak tanggung-tanggung, bukan hanya tenaga asing untuk mengisi
pos-pos level “ecek-ecek”, Singapura sudah membuka diri jauh untuk mengundang
tenaga asing menduduki pos-pos penting nan strategis untuk menunjang kemampuan
daya asing negaranya di pelbagai bidang, termasuk bidang pendidikan atau
penelitian.
Penulis yang pernah bekerja sebagai Research Fellow di Nanyang Technological
University (NTU), Singapura, telah merasakan hal ini secara langsung. Rektor NTU sendiri pernah
dipegang oleh orang Swedia. Belakangan NTU mengimpor profesor berkebangsaan
Amerika untuk menjadi Rektor mendatang. Tidak tanggung-tanggung, yang diimpor
ialah seorang mantan Kepala National Science Foundation-nya Amerika yang
merupakan sebuah lembaga pemberi dana penelitian kelas wahid.
Negara
jiran lain Malaysia juga membuka lebar-lebar pintu masuknya dosen maupun
peneliti berkebangsaan asing di negaranya untuk mengisi posisi-posisi yang
bersaing dengan tenaga pribumi. Kebetulan beberapa kawan dekat penulis yang
putra asli tanah air juga menjadi profesor di beberapa kampus di Malaysia.
Dan kita
pun mahfum jika baik Singapura maupun Malaysia mendapat banyak keuntungan dari
keberadaan tenaga asing di bidang pendidikan maupun penelitian. Mulai dari
kualitas pengajaran di kampus, kuantitas publikasi ilmiah hingga reputasi
negara bersangkutan yang mulai dilirik di kancah pendidikan dan penelitian. Pada
akhirnya, berbondong-bondonglah mahasiswa asing -termasuk mahasiswa Indonesia-
yang menuntut ilmu di Singapura atau Malaysia mengingat level kualitas mereka
yang di atas rata-rata pendidikan dan penelitian di tanah air.
Lantas mengapa
rencana KemenRistekDikti untuk meniru jejak keberhasian negara jiran di atas
dalam mengundang profesor asing ke kampus-kampus di tanah air justru mengundang
banyak tentangan?
Sebagaimana
yang diberitakan, program KemenRistekDikti ini memberi imbalan gaji paling
besar kepada dosen asing sebesar 65 juta-an per bulan mungkin setara dengan USD
4000/bulan. Artinya, dosen asing ini memperoleh gaji belasan kali lebih besar
dari dosen „lokal“ di kampus yang sama. Tentu saja dengan kedatangan dosen
asing yang dirangsang dengan insentif gaji lumayan besar, maka akan diharapkan akan
ada perubahan signifikan yang dibawa ke dalam dunia akademik di Indonesia.
Paling sederhana ialah peningkatan kualitas dan kuantititas pulikasi ilmiah
internasional yang ditelurkan dari kampus-kampus tanah air. Sayangnya
kenyataan di dunia akademik maupun penelitian kita memiliki banyak faktor yang justru
akan memuat program tersebut layu sebelum berkembang.
Pertama, kesiapan lembaga akademik atau penelitian di tanah air untuk
menjadi „host“ dosen asing tersebut. Yakni
apalagi jika bukan persoalan birokrasi. Mengundang dosen asing -apalagi dosen asing
berkualitas- juga membutuhkan fasilitas birokrasi yang berkualitas pula.
Misalnya, ketika dosen yang bersangkutan membutuhkan bantuan segera persoalan
keimigrasian, lapor diri, perpanjangan izin tinggal hingga persoalan pelayanan
yang membutuhkan stempel kampus yang bersangkutan, membutuhkan gerak cepat
birokrasi kampus. Gerak cepat birokrasi ini untuk menunjang aktifitas dosen
asing berkualitas bukan hal yang dapat ditawar. Intinya adalah, bagaimana menyediakan
dukungan birokrasi yang sama dengan seperti yang ia dapatkan di negara asalnya. Nah,
birokrasi kampus di tanah air memang terkenal sangat kompleks. Ketika kampus
dunia tengah mengalami pergeseran ke arah digital bureaucracy, yang membawa
konsekuensi semua serba digital dan cepat tanpa perlu „stempel“ fisik,
persoalan di kampus tanah air masih berkutan pada isu pelayanan profesional
insan birokrasi. Artinya, level birokrasi kita belum setara dengan level birokrasi tempat
dosen asing tersebut berasal. Untuk yang pernah kuliah di kampus luar negeri,
pastilah sudah merasakan bagaimana pelayanan divisi Foreign Affair atau Student
Service dsb di kampus luar negeri yang sudah mapan, cepat dan professional
mendukung tidak hanya mahasiswa asing, namun juga staf pengajar asingnya. Bisakah prasyarat birokrasi yang
bermutu dan professional ini sudah dijadikan agenda sebelum mengundang dosen
asing? Toh birokrasi kampus yang profesional bukan hanya diperuntukkan untuk melayani
dosen asing, melainkan memang sebuah bahagian dari lembaga akademik dan
penelitian sebagai center of excellence.
Yang
kedua ialah kesiapan fasilitas penunjang kegiatan akademik maupun penelitian. Penunjang
kegiatan akademik misalnya ialah fasilitas laboratorium. Program mengundang
dosen asing mudah-mudahan sudah memperhitungkan investasi yang proporsional
untuk membenahi fasilitas ini. Jika dosen asing yang diundang ialah seorang
profesor kimia misalnya, maka dia harus disupport oleh kondisi laboratorium
kimia untuk praktikum dengan fasllitas yang baik. Yang terlihat sepele namun
sangat esensial untuk sebuah laboratorium kimia ialah ketersediaan sistem
pembuat air terdestilasi dengan kemurnian tinggi atau terkenal dengan di-ionised/distilled
water (DI Water). DI Water digunakan untuk membuat seluruh larutan kimia, baik
untuk praktikum mahasiswa maupun penelitian. Sayangnya, alat untuk memproduksi
DI Water termasuk barang mewah di kampus-kampus tanah air. Harga pasaran alat
ini sebesar gaji sang dosen asing itu sendiri sehingga tidak semua laboratorium
Kimia (dan Biologi juga) memiliki alat wajib ada ini. Tidaklah lucu
jika dosen asing mendapati mahasiswa Indonesia membuat larutan asam sulfat atau
mendispersikan DNA dengan pelarut air keran atau air tadahan dari tetesan Air
Conditioner (AC). Sebagaimana kasus birokrasi di atas, memperbaiki fasililitas
pengajaran maupun penelitian mutlak dikerjakan bahkan tanpa perlu membuat
program mengundang dosen asing sekalipun. Hal yang sama dengan situasi mutakhir penelitian kita. Hasil penelitian
insan akademik dan penelitian di tanah air yang masih kurang memuaskan bukanlah
persoalan apakah dosennya lokal maupun asing semata. Namun ada pada sejauh mana
kita membangun iklim penelitian yang baik sesuai dengan perannya masing-masing.
Peran KemenRistekDikti sendiri semestinya menyediakan arahan sekaligus
pendanaan penelitian untuk aktifitas intelektual di tanah air. Sebagai contoh
praktis, dosen di universitas maupun peneliti di lembaga penelitian mutlak
disediakan sebuah program penelitian di mana mereka dapat mengirimkan proposal
penelitiannya sesuai dengan program yang pas. Misal, program nasional kendaraan
listrik akan dibuatkan program penelitian untuk bidang-bidang yang terkait.
Program ini menampung dan memberikan dana penelitian untuk proposal-proposal
terbaik di bidang yang akan menunjang ambisi nasional membuat kendaraan
listrik, mulai dari sistem elektroniknya, sistem baterei, material untuk
membuat baterei hingga sistem pengujiannya dsb. Atau program penelitian
renewable energy hasil arahan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017. Yang
mewadahi penelitian dan pemberian dana untuk penelitian di bidang sel surya,
material lanjut untuk aplikasi energi, sel bakar dsb.
Contohnya seperti yang dilakukan di Austria. Lembaga pemberi dana
penelitian Austria, Forschungsforderungsgemainschaft (FFG) atau Austrian
Research Promotion Agency di bawah Kementrian Transportasi, Inovasi dan
Teknologi membuat program tahunan di bidang Energy Research yang mewadahi
penelitian-penelitian terpadu di bidang teknologi baru (Emerging Technology),
sel surya (Photovoltaics), thermal surya (Solar Thermal), tenaga angin (Wind
Energy) dsb. Program ini didanai oleh dana public dengan besar total rata-rata
20 juta Euro per tahun. Dengan adanya program tahunan ini, setiap tahunnya
dosen maupun peneliti di Austria dapat kesempatan untuk mengirimkan proposal
penelitian sesuai dengan bidang kepakarannya masing-masing. Dan dengan sifatnya
yang berkala ini, maka ada kesinambungan penelitian dan titik fokus dari
aktifitas dosen dan peneliti tersebut membangun kredibilitas dan spesialisasi. Ini baru untuk bidang energi. Program lain
masih menunggu semisal program Smart City, program transportasi, program
Information technology dan banyak lagi dengan masing-masing total dana yang
sama besarnya. Dan hampir semua negara sebenarnya memiliki program tahunan
seperti program di negara Austria ini.
Pertanyaannya ialah, jika program penelitian berkesinambungan lengkap
dengan pendanaannya tidak tersedia di Indonesia, lantas apa yang akan diteliti
oleh dosen asing? Jangankan dosen asing, dosen dan peneliti kita sendiri sejauh
ini tidak memliki banyak pilihan untuk meraih dana penelitian untuk membangun
kepakaran dan melahirkan karya-karya ilmiah berkelas. Jika tidak ada
penelitian, apa yang hendak ditulis di publikasi ilmiah nantinya? Dan jika
tidak ada dana penelitian, bagaimana cara untuk meng-upgrade kualitas
laboratorium kimia dengan alat-alat yang memadai?
Yang ketiga dan terakhir ialah daya tarik Indonesia di mata tenaga kerja
intelektual asing untuk pindah atau bekerja (meski sementara) di Indonesia.
Konon
KemenRistekDikti menginginkan dosen-dosen asing yang berkualitas-lah yang akan
menstimulus pendidikan dan penelitian di tanah air. Perhatikan kata „dosen
asing yang berkualitas“. Tolok ukur berkualitas di sini sangatlah sederhana;
(i) asal universitas atau lembaga penelitian, (ii) jumlah publikasi ilmiah atau
paten dan/atau (iii) status keanggotan
yang bersangkutan di perkumpulan bidang kepakarannya.
Taruhlah
jika jumlah publikasi ilmiah yang dijadikan ukuran utama. Maka artinya, selama
dosen asing tersebut produktif menelurkan publikasi ilmiah per tahun, tandanya
dia memenangi dana penelitian dengan cukup sering yang sebanding dengan jumlah
publikasi ilmiahnya. Hal ini mudah dicerna, karena ada dana penelitian maka ada
penelitian yang hasilnya dipublikasikan. Jika ada dana penelitian yang terus didapat,
maka di negaranya pastilah ada program penelitian berkesinambungan dengan gambaran
seperti apa yang saya tuliskan di atas. Jika ada publikasi ilmiah dan dana
penelitian, dapat dipastikan yang bersangkutan memiliki kelompok riset yang
produktif, terdiri dari mahasiswa-mahasiswa doktoral dibantu dengan
mahasiswa-mahasiswa level master. Ditambah lagi dengan laboratorium penelitian
yang jauh dari kata sekedar memadai.
Pertanyaannya,
apakah ia akan mendapatkan itu semua ketika ia bekerja di negara kita? Jika
satu-satunya hal yang kita tawarkan ialah gaji 65 juta rupiah per bulan atau
USD 4000/bulan, apakah dosen asing akan mengorbankan dirinya untuk menghadapi
ketiadaan iklim penelitian yang maju, lengkap dengan keterbatasan birokrasi
kampus plus minim dana penelitian? Apa yang akan dosen asing tersebut tulis
untuk dipublikasikan jika tidak ada support dana penelitian yang berkelanjutan selama
ia mengajar di kampus atau meneliti lembaga penelitian Indonesia? Dengan
kondisi kita sekarang ini, sebenarnya kita harus jujur bahwa tidak ada daya
tarik Indonesia dari sisi keilmuan untuk menarik dosen asing yang berkelas.
Maka, jika
ada dosen/profesor atau peneliti asing yang berminat ke Indonesia, maka perlu
ditelusuri apakah yang bersangkutan sudah gagal berkompetisi meraih dana
penelitian di negara asalnya, ataukah malah sudah menjelang pensiun.
Program
yang lebih memberikan dampak positif yang dapat diajukan untuk memajukan
pendidikan tinggi dan penelitian di tanah air sudah semestinya membangun
pondasi iklim penelitian dan infrastrukturnya.
Dengan
mengadakan program penelitian berkelanjutan yang sifatnya tematik lengkap
dengan dana penelitian yang terjamin keberadaannya, persoalan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian sudah menuju ke titik terang. Dan
sasaran dari program ini tidak lain ialah dosen dan peneliti kita sendiri.
Mungkin jika kita memang belum mampu meningkatkan gaji dosen atau peneliti
kita, dengan adanya program penelitian yang selalu merangsang dosen atau
peneliti menulis proposal dan memenangkan dana penelitian yang kompetitif, maka
akan terbangun iklim penelitian yang baik lengkap dengan output publikasi
ilmiah, doktor cetakan dalam negeri plus paten untuk mengkomerisaliasikan hasil
penelitiannya.
Tapi
jika KemenRistekDikti mampu menganggarkan USD 4000/bulan untuk 200 dosen asing,
masak iya menggelontorkan dana penelitian dengan nilai yang sama tidak mampu?
Kelihatannya persoalannya lebih ada pada kehilangan kapasitas membangun visi
yang jauh ke depan.
Selamat
Hari Pendidikan Nasional
Wina,
Austria, 25 April 2018.
Pada saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Austrian Institute of Technology.