by: NCS
„Ibu kita Kartini, putri sejati, Putri Indonesia, harum namanya.
Ibu kita Kartini pedekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini putri yang mulia, sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia“
Teringat di saat masih duduk di bangku SD hingga SMA, saat memasuki bulan April, lagu Ibu Kita Kartini ini dinyayikan dengan penuh semangat oleh tim paduan suara saat upacara bendera setiap hari Senin. Tanggal 21 April yang ditetapkan sebagai hari libur biasanya diperingati dengan menyelenggarakan beragam lomba di sekolah; mulai dari lomba menghias tumpeng, lomba busana adat, lomba kebaya, lomba paduan suara, dan aneka lomba lainnya, tidak ketinggalan para siswi yang diwajibkan atau disarankan untuk mengenakan kebaya. Saat itu, tidak pernah terbesit tanya “mengapa berkebaya? ”. Rupanya, tradisi berkebaya ini mulai dipopulerkan pada era Orde Baru, dengan lebih mencitrakan sosok Ibu Kartini sebagai seorang “putri sejati”, daripada sebagai seorang pejuang. Dalam opini yang ditulis oleh Vissia Ita Yulianto di Jakarta Post empat tahun silam, ia berpendapat bahwa pergeseran sosok Kartini dari seorang pejuang emansipasi perempuan ke seorang putri sejati adalah salah satu alasan utama sebagian besar publik melupakan apa yang seharusnya dirayakan saat hari Kartini. Sosok RA Kartini jadi lebih condong dicitrakan sebagai seorang putri dengan pengaruh tradisi budaya jawa yang sangat kental; identik dengan keanggunan fisik, bertata krama, santun, dsb.
Seperti kata pepatah “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”, Kartini yang meninggal diusia yang cukup dini yaitu 25 tahun, tidak dengan mudah untuk dilupakan begitu saja, perjuangannya yang gigih untuk kesetaraan hak wanita tidak terkubur begitu saja bersama jasad beliau melainkan terus dilanjutkan oleh penerusnya. Semasa hidupnya, Kartini memiliki beberapa sahabat pena yang tinggal di Belanda, salah satunya adalah Jacques H. Abendanon. Abendanon lah yang setelah Kartini meninggal, berhasil menerbitkan buku yang berjudul ‘Door Duisternis tot Licht (Habis gelap terbitlah terang) ’ pada tahun 1911 yang merupakan kumpulan surat-surat yang ditulis oleh Kartini dalam bahasa Belanda yang dikirimkannya kepada sahabat penanya di Belanda. Di dalam surat-suratnya, Kartini menyoroti mengenai pentingnya hak dan status perempuan di pulau Jawa. Beliau memprotes kebijakan saat itu yang hanya mengijinkan laki-laki dari kaum bangsawan saja yang boleh mengenyam bangku pendidikan. Beliau menginginkan persamaan hak perempuan yaitu kebebasan untuk belajar dan memperoleh pendidikan.
sumber: pusakaindonesia.org |
Kartini tidak hanya satu-satunya wanita yang saat itu berjuang untuk hak perempuan, di awal tahun 1900an Dewi Sartika dari Jawa Barat dan Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara juga tercatat sebagai pejuang hak perempuan. Dewi Sartika merupakan perintis pendidikan untuk kaum wanita dengan membangun Sakola Kautamaan Istri. Maria Walanda Maramis merupakan pendiri Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) yang juga berjuang untuk hak pilih wanita dalam ranah politik.
Lebih dari seratus tahun sudah perjuangan itu, tetapi sepertinya semangat masih harus terus dikobarkan apalagi ketika nyala api itu menjadi semakin redup oleh bergulirnya waktu. Perempuan Indonesia saat ini masih harus terus berjuangan karena masih kuatnya pemikiran sempit mengenai „kodrat perempuan dan dapur“ di masyarakat. Perempuan lebih banyak menerima cibiran dari masyarakat saat mereka memilih untuk mengejar karir dari pada berumahtangga, belum berumah tangga atau belum memiliki anak di atas usia 30 tahun, memutuskan tidak memiliki anak ataupun tidak menikah. Perempuan saat ini pun masih begitu terikat dengan standar sosial yang mengekang hak mereka untuk menentukan jalan hidup mereka masing-masing.
Tidak hanya itu, terpaan media dan budaya konsumerisme begitu megikat perempuan Indonesia saat ini. Mereka disuguhi oleh berbagai gossip infotainment, fashion, dan sinetron.. Perempuan adalah objek eksploitasi mulai dari rambut hingga ujung kaki. Lebih menyedihkan lagi adalah saat konsep ‘cantik’ itu distandardisasikan dan dikomersialisasikan demi profit yang berlimpah. Cantik itu putih, rambut lurus dan terawat, tubuh langsing, dan berpenampilan trendy, karena itu banyak yang takut dicap tidak gaul ataupun jadul jika tidak mengikuti trend yang sedang ‘in'.
Begitu juga dalam tatanan politik, keterlibatan wanita masih jauh daripada cukup. Dengan data statistik yang berbanding 50: 50 dengan total jumlah pria di Indonesia, seharusnya lebih banyak lagi perempuan Indonesia yang berperan aktif dalam dunia politik, khususnya terlibat dalam hal yang menyangkutan penentuan kebijakan-kebijakan umum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perempuan; hak perempuan dalam hal perceraian, hak memperoleh pendapatan pada saat dan setelah menyusui, hak memperoleh gaji yang setara dengan pria (dengan syarat kualifikasi kompetensi yang sama), dsb.
sumber: nationinchange.org |
Emansipasi perempuan bukanlah merupakan bentuk dari perlawanan atau anti terhadap kaum lelaki, melainkan pergerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan melawan tindakan-tindakan tidak adil terhadap perempuan, karena seperti kaum lelaki, perempuan diciptakan untuk saling mengisi bukan hanya sekedar pelengkap. Oleh karena itu pada Hari Kartini ini, atau saya lebih senang menyebutnya dengan „Hari Emansipasi Perempuan“ kita, perempuan indonesia, tidak hanya sekedar merayakannya dengan mengenakan kebaya atau batik, ataupun sekedar memasang foto dan status mengucapkan Selamat Hari Kartini di social media tanpa mengetahui, bersyukur, dan memaknai perjuangan yang telah dirintis oleh penjuang-pejuang perempuan sebelumnya. Tongkat estafet sekarang ada ditangan kita, mari terus bergerak ke depan dan terus berkarya, mari saling menginspirasi bukan saling mencibir, mari saling menopang bukan saling menjatuhkan, mari saling mengingatkan bukan saling menyalahkan karena semua perempuan adalah berharga.
No comments:
Post a Comment