/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Tuesday 24 March 2015

What We Learned from the Movie Night (March 2015)



by Yusfan Adeputra


Malam Minggu malam yang panjangMalam yang asyik buat pacaran...

Sepenggal lagu Jamal Mirdad ini kayaknya ga berlaku deh buat kita-kita yang malam Minggu kemaren (21/3) menghabiskan waktu dengan komunitas MoViennachters.

Ini merupakan salah satu program PPI tahun ini sebagai ajang hiburan sekaligus kumpul-kenal (silaturahim) antar pelajar-pemuda seantero Austria. Harapannya juga dari konten yang diputar, bisa kita petik pelajaran di dalamnya.

Nah, yang kemarin itu acaranya diadakan mulai jam 4 sore sampai 8 malam di Ruang Nusantara KBRI dengan mengundang elemen pemuda dan pelajar seantero Austria. Film yang diputar sebenarnya adalah Whiplash. Nah menariknya, saat projector and sound testing, panitia muterin film Penguins of Madagascar. Eh, malah penonton yang hadir berseru 'diterusin aja filmnya' karena kelucuan penguin-penguin itu ternyata menghadirkan canda tawa penonton. Walhasil, Film Penguins pun diputar hingga selesai jam 6 pm.



Saat break, panitia sedikit menghaturkan sepatah kata tentang acara sekaligus menjadi ajang perkenalan bagi penonton yang hadir. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan pemutaran film inti yaitu Whiplash. Tak dinyana, saat pemutaran film berlangsung semakin banyak penonton yang datang turut meramaikan.


Film Whiplash sendiri dipilih karena terdapat beberapa pesan moral bagi kita utamanya untuk terus bekerja keras demi menggapai cita-cita. Seperti katanya opa Collin Powell, 'A dream doesn't become reality through magic, it takes sweat, determination and hard work'.


Nah kawan, tunggu kabar pemutaran film berikutnya ya. Pastinya akan lebih seru. Kami tunggu...

Kunjungan ketua Mahkamah Konstitusi ke Wina

by Yusfan Adeputra


 
Senin malam (23/3), dinginnya Wina dihangatkan dengan acara diskusi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS. Diskusi ini sendiri diadakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan mengundang beberapa perwakilan WNI di Austria.

Tampak hadir yaitu dari WNI yang bekerja di UN, IAEA, OFID, perwakilan komunitas warga seperti dari Wapena, KKIA dan tentunya PPI Austria. Acara ini diawali dengan ramah tamah dan makan malam bersama dan dibuka oleh Duta Besar RI untuk Austria dan Slovenia, Bapak Rahmat Budiman.

Dalam sambutannya, Prof. Arief menjelaskan kunjungannya kali ini didampingi Sekjen MK dan beberapa staf adalah untuk menjajaki kerjasama dengan MK Austria. Kerjasama ini didasarkan pada beberapa kesamaan sistem hukum yang sama antara Indonesia dan Austria. Harapannya dengan kerjasama ini penguatan hukum di internal maupun eksternal masing-masing negara bisa semakin kuat.



Kesempatan ini pula dimanfaatkan bagi para undangan yang hadir untuk berdiskusi lebih dekat dengan Ketua MK yang baru terpilih secara aklamasi ini. Beberapa isu utamanya yang berkaitan dengan usaha penegakan hukum ditanyakan audiens.

Isu yang berkaitan dengan pra peradilan yang sedang top hit, isu penyerapan modal luar negeri, sampai pada menurunnya optimisme pemuda pada penegakan hukum di Indoensia berusaha dijelaskan dengan gamblang oleh Guru Besar yang juga mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini.



Sebenanya masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh audiens namun karena terkendala waktu yang semakin larut maka acara ditutup oleh Bapak Dubes dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama.

(sumber foto: KBRI Wina)

Phd Story: Idhamsyah Eka Putra (Linz)

by Evi Mulyani



Idhamsyah Eka Putra lulus dari Program S3 Humanities and Cultural Sciences dari Johannes Kepler University of Linz pada 11 Februari 2015.

Rekan kita yang mendapat gelar Dr Phil ini berencana untuk mengembangkan term yang ia perkenalkan, yaitu 'meta-prejudice'.

*Googling term 'meta-prejudice'*

"Meta-prejudice adalah bagaimana saya sebagai bagian dari kelompok, memandang orang lain (anggota kelompok) berpikir (dengan cara negatif) terhadap orang lain," ia menjelaskan secara singkat.

Ia lulus 2,5 tahun dengan hasil "distinction". Penelitiannya dilakukan di wilayah Indonesia bagian Barat (Jawa) dan Timur (Flores), dengan data dari kelompok (Sunni) Muslim, Kristen (Katolik dan Protestan), dan Ahmadiyah, dengan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif (5 studi lapangan).

Terdengar sangat menantang, bukan? :)

Menurut Dr. Phil Idhamsyah, tantangan besar yang ia hadapi selama pembuatan disertasi adalah professornya.

"Banyak tuntutan dari professor, (untuk) keluar dari bingkai teori yang ada, dan mencoba memahami dengan tidak terkotakkan oleh suatu teori."

Pastinya selama menjalani S3 ada rasa suka dan dukanya, salah satunya adalah professornya yang benar-benar ahli di bidang yang Idhamsyah kembangkan.

"Dukanya, pembimbing saya memiliki standar kualifikasi yang  sangat tinggi, sehingga untuk mencapai standar yang beliau inginkan rasanya seperti harus teriak di puncak gunung 100 kali."

Weww, bisa dibayangkan...

Selama di Linz, ia juga membantu beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa staf akademik di JKU. Ia juga pernah terlibat sebagai pengurus PPIA 2012.

Harapan kita semua dari PPIA kepada Dr.Phil Idhamsyah, semoga sukses selalu dan ilmunya bisa dikembangkan di tanah air. Sukses!

Reminder: Earth Hour 2015 (Saturday, 28 March)


 by Rafika Nurulhuda
 This is not only to remind you, but this is mainly as a self-reminder that I would like to share with you all.
I am sure we all have heard about Earth Hour that is celebrated each year on 28th March starting from 8.30 PM to 9.30 PM local time. What do we exactly do at that moment and what is the importance?
It is basically one of the ways to combat global warming. You can participate by simply shutting of lights for an hour. And this simple act actually brings positive impacts. There are some facts about how much energy is conserved just from the one hour time period.
It saves electricity cost, too ;)
I would like to remind myself that, Earth Hour should not only be done every year, but it should be put into my awareness and put into my action for the upcoming days. 
I think we all agree that Valentine shouldn't be celebrated only in February, but showing love to your loved ones should be done everyday, right? 
I think participating in Earth Hour shows our love for Earth, and it should be shown daily.
So cross your heart. Promise me you'll turn off the lights for one hour this Saturday. :)

Kata Sambutan dari Wakil Ketua PPI Austria 2015

Dear Kawan PPI Austria,

Spring is in the air…
Tak terasa hari berganti hari udah Maret aja nih.

Kata ‘Sustainable’ telah menjadi semacam tren hidup teratas saat ini. Isu-isu seputar sustainable pun menjadi tagline di setiap peri kehidupan. Mulai dari gaya hidup, kendaraan, bangunan, sampai ke bungkus makanan. 

Nah, menyadari pentingnya hidup sehat sekaligus menjaga lingkungan, PPI news ke depannya mencoba mengangkat beberapa tema tentang hidup berkelanjutan. Semoga tema ini bisa menambah semangat kita untuk turut menjaga alam lingkungan demi generasi mendatang.

Kami mengundang pula kawan PPI seantero Austria untuk memberikan sumbangsih ide dan saran utamanya tentang kegiatan riil yang bisa kita lakukan kaitannya dengan ‘sustainability’. Tidak hanya bertujuan untuk menjaga lingkungan, namun bisa menjadi ajang saling kenal dan silaturahim bagi kita semua.

Tak lupa pula kami ucapkan selamat datang bagi para cendekia ilmu baru di Austria. Semoga semangat yang dibawa saat ini tetap demikian adanya hingga akhir studi nanti. Bak semangat musim semi, pucuk muda dedaunan mulai bermunculan menyambut hangat mentari. Begitu pula harapan kita di masa mendatang. Harapan bahwa lebih banyak lagi tunas bangsa menimba ilmu ke Austria.

Salam nusantara

Berburu Bärlauch

by Syifa Nurhanifah

I like the flowers, I like the daffodils,
I like the mountains, I like the rolling hills.
I like the fireplace, when the light is low.
Dum, di da, di dum, di da, di dum, di da, di dum, di da, di

Yeaaah spring is coming!! :D let’s sing this song once more..!

I like the flowers, I like the daffodils,
I like the mountains, I like the green hills.
I like the fire stone, I like to walk alone.
Dum, di da, di dum, di da, di dum, di da, di dum, di da, di

Oho..!! ;-)

Siapa sih yang ngga sumringah dengan kehadiran kehangatan matahari dan warna warni bunga-bunga musim semi?

Daffodils, crocus, tulip dan juga snowdrops mulai bermekaran di mana-mana. Apalagi jika kita lewat taman-taman kota, wuaaah keinginan untuk selfie dengan bunga-bunga inipun kian menggelora.. ;)

Eiitsss tak disangka tak menyangka bahwa selain bunga-bunga spring ini tumbuh pula satu jenis tanaman liar yang memiliki rasa lezat jika di makan dan bisa dijadikan rempah atau bumbu dapur serta bisa mengobati penyakit.

WOW… jenis tumbuhan apakah ini?

Dialah Allium ursinum. Orang disini menyebutnya Bärlauch yang berarti "bawang beruang" dan kayaknya masih sepupu sama bawang bombay deh ;)
atau dalam bahasa Inggris tanaman ini lebih dikenal dengan wild garlic.



Tumbuhan ini adalah sejenis bawang-bawangan gitu, TAPI lebih uniknya, tumbuhan ini tidak berbentuk seperti bawang, namun berbentuk DAUN.

Yup, itulah kedahsyatan Bärlauch ini. Jika dimakan, tumbuhan ini memiliki rasa khas yang mirip sekali dengan bawang putih, namun dengan wujud yang sangat berbeda dengan bawang putih.

Bagaimana sih penampakkan tumbuhan ini, yuk kita perhatikan gambar di bawah ini:




Menurut Wikipedia, Bärlauch adalah memang sejenis tumbuhan bawang-bawangan yang berkerabat dengan bawang bombay, bawang putih, bawang merah, lokio dan kucai. Namun tempat tumbuh dan berkembang biak tumbuhan ini sangat berbeda dengan kerabatnya yang lain. 

Bärlauch ini tumbuh secara liar di hutan, kebun atau di pinggiran sungai dan daerah lain yang berudara lembab. Hebatnya lagi, bärlauch tidak bisa dipindah tempatkan, apalagi jika kita tanam di pot di rumah. Kesempatan untuk bertahan hidup di pot hanya 30%.

Namun sayangnya Bärlauch hanya tumbuh di Eropa saja dan sebagian kecil di negara-negara Asia yang memiliki 4 musim.



Tumbuhan ini mulai tumbuh biasanya di Awal bulan Maret tiap tahunnya. Penampakkanya bisa dikatakan pertanda bahwa musim semi akan segera atau sudah datang. Yang spesial dari Bärlauch ini tentu saja bukan hanya dari keunikan-keunikannya saja, namun dari manfaat tumbuhan ini bagi kesehatan jasmani.

Orang Eropa biasa menggunakan tumbuhan ini sebagai jamu tradisional mengobati penyakit Arteriosklerose (penyempitan pembuluh nadi), mengobati maag, mengurangi tekanan darah tinggi dan juga bisa mengobati cacingan http://www.heilkraeuter.de/lexikon/baerlauch.htm.

Kehadiran Bärlauch ini tentu saja sangat dinanti nantikan bagi mereka yang hobby masak dan experiment di dapur, khususnya bagi mereka yang vegetarian dan vegan. Jika kita tanya Google tentang resep maakanan yang menggunakan Bärlauch, kita akan temukan berbagai macam jenis makanan yang beragam.

Saya sendiri paling suka menyulap Bärlauch menjadi Pesto dan Dip. Walaupun bukan vegetarian atau vegan, namun sensasi rasa yang begitu khas dari Bärlauch ini yang membuat saya tergila-gila dan punya semangat juang tinggi untuk memburunya di awal musim semi ;-)

Karena eh karena.. Bärlauch yang baru tumbuh di awal musim semi (atau di akhir winter) memiliki rasa dan aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan Bärlauch yang sudah lama tumbuh dan berbunga – yang notabene rasa dan aroma sudah berkurang.

Hal yang paling spesial dari Bärlauch ini adalah rasanya yang sangat mirip dengan Bawang putih. Alhasil dalam hal memasak pun kita bisa menggunakan bärlauch untuk menggantikan bawang putih. Jadi entah masak apapun itu yang berbumbu bawang putih, kita bisa menggantikannya dengan Bärlauch ini. Bagi Students ini mungkin jadi hal yang positiv, karena kita bisa menghemat uang belanja di dapur. Kalo ada yang gratisan, kenapa mesti beli toh? ;)



Yup.. Bärlauch bisa kita dapatkan secara cuma-cuma dan bisa kita panen sebanyak mungkin yang kita mau. Tapi tentu saja di hutan hutan umum dan bukan hutan kawasan lindung yaa..

Di Salzburg markas besar Bärlauch sendiri berada di Glasenbachklamm, dan di Fürstenbrünner Allee (tempat tersembunyi dan sunyi pokoknya). Di Wina sendiri secara takjub saya menemukan markasnya di Pötzleinsdorfer Schlosspark disana terhampar ribuan tunas Bärlauch yang bisa kita panen secara gratis.

ACHTUNG! 

Bagi yang ingin berburu Bärlauch harus dan mesti mengenal dalam-dalam bentuk tumbuhan ini. Karena ada beberapa tumbuhan liar lain yang mirip dengan Bärlauch, namun beracun! Dialah Maiglöckchen (Lilly of the Valley) dan Herbstzeitlose (Meadow saffrons).

Sekilas tiga tumbuhan ini sangat mirip, namun ada beberapa perbedaan yang bisa kita lihat jika di amati secara teliti:



  • Bärlauch tumbuh di awal musim semi (awal maret sampai akhir April dan berbunga sampai akhir Juli) sedangkan Maiglöckchen tumbuh di awal bulan Mei, dan Herbstzeitlose tumbuh sekitar awal oktober.
  • Bärlauch memiliki aroma seperti Bawang putih, sedangkan dua tanaman yang lainnya tidak memiliki aroma apa-apa
  • Daun Bärlauch tumbuh secara single dan terpisah dari daun-daun lainnya walupun satu umbi, sedangkan dua tumbuhan lainnya, daunnya berkelompok mengikuti umbi.
  • Bentuk bunga yang sangat berbeda (lihat gambar)


Bunga Bärlauch

Bunga Maiglöckchen

Kalau sudah pintar dalam membedakan ketiga macam tumbuhan liar ini, yuk kita panen deh si unik Bärlauch ini. Bagi yang mau berexperiment di dapur, boleh di coba resep-resep di website ini: http://www.ichkoche.at/baerlauch-rezepte

Saya sendiri telah mencoba resep Bärlauch Cordon Bleu, Bärlauchsuppe, Bärlauchspesto und Bärlauch Aufstrich, rasanya mmmmm….. karena saking lezatnya dan keburu laperrr saya tidak sempat memotret hasil experiment ini ;-)

Buat yang lain, selamat mencoba!

Monday 23 March 2015

How To Make Kärntner Kasnudel


 Kärntner Kasnudel
(Kuliner spesial khas Kärnten)


 by Sri Yuliyanti
   

    Kärnten yang merupakan  salah satu kota di Austria ini, mempunyai daya tarik  tersendiri. Selain keindahann alamnya yang memukau, makanan khas nya pun tidak diragukan lagi kelezatannya.
  Berawal dari perkenalan saya bersama Johanna. Wanita kelahiran Kärnten yang sedang study Olahraga dan Bahasa Prancisnya di Universitas Graz, yang sangat gemar sekali memasak dan ia ingin berbagi rahasia kelezatan dari Kärntner Kasnudel kepada kita semua. Penasaran, Apa dan bagaimana cara membuatnya?
   Kärntner Kasnudel adalah salah satu makanan khas dari Kärnten, berbahan dasar terigu yang diolah menjadi noodle dan kemudian di bentuk menjadi bulatan pipih lalu diisi dengan Toping ( Sesuai selera). Kebayang enaknya bukan! Ada bocoran sedikit nih, katanya toping yang banyak digemari dan banyak dijumapi di restoran atau supermarket yaitu Kärntner Kasnudel dengan toping kentang dan bröseltopfen (Quark/ keju).


Bahan: Untuk 4 Porsi
·      300 g Terigu (halus)
·      2 telur ayam
·      1 sendok Teh garam (untuk adonan Noodel)
·      200 g Kentang (bertepung)
·      250 g Bröseltopfen
·      1 sendok makan daun Minz
·      Petersilie secukupnya
·      Majoran secukupnya (berupa rempah- rempah)
·      Garam
·      Merica
·      100 g Butter/ Mentega (untuk souce)
·      Tepung supaya tidak lengket saat pembuatan.




Cara pertama : Rebus Kentang kira- kira sampai 25 menit, kemudian angkat dan dinginkan. Setelah itu parut kentang atau bisa menggunakan alat Pres.


Cara Kedua : Membuat  adonan Noodle







Campurkan Tepung, Garam , dan Telur lalu aduk sampai merata, kemudian tuangkan susu, aduk adonan secara manual hingga adonan menjadi empuk. Setelah itu tutup adonan dan diamkan selama 1 jam.






 

Cara Ketiga: Membuat Toping 
 
Campurkan semua bahan Bröseltopfen, Petersilie, daun Minz, Merica, garam dan begitu juga dengan kentang yang sudah dihaluskan, lalu aduk hingga rata, setelah itu buat bulatan kecil (sebesar tomat Cery).









 Cara keempat: Mebentuk Adonan dan Toping menjadi Kärntner Kasnudel









Taburkan meja dengan tepung terigu supaya Adonan tidak lengket. Buat bulatan kecil dari Adonan Noodle lalu Pipihkan setelah itu isi dengan toping yang kemudian bentuk sesuai selera atau lihat pada gambar.
Tips: Usahakn jangan sampai ada gelembung udara saat Adonan sudah dibentuk, karena saat di rebus mengakibatkan Adonan akan pecah dan topingnya keluar.

Cara kelima: Rebus dengan api sedang, selama 8 menit, Lalu angkat saat sudah berada di permukaan air. Kemudian diamkan sampai menjadi kering dan air rebusan sudah hilang.
Tips: Sebaiknya jangan di aduk. Setelah Matang, angkat dengan hati- hati dan sebaiknya segera di dinginkan dengan air dingin dari Kran kemudian diamkan, supaya tidak menempel satu sama lain.JJi



Cara Penyajian: Panaskan Butter/ Mentega kemudian masukkan Kärntner Kasnudel yang sudah direbus tadi.
Tips: Salat bisa menjadi pelengkap yang membuat Kärntner Kasnudel semakin spesial. Kärntner Kasnudel juga bisa di simpan di friser untuk produksi dalam jumlah banyak.
Itulah tadi rahasia pembuatan Kärntner Kasnudel, dan akan lebih seru lagi pastinya, jika mencobanya memasak dirumah, dengan kreasi unik dan dengan toping sesuai selara. J
Selamat mencoba!!




















Sunday 22 March 2015

Love Video dari PPI Austria

Friday 20 March 2015

Dialog Antaragama dan Antarbudaya @ KAICIID



by Rasmi Silasari
 Sebagai ibukota yang terletak di tengah Eropa (cek sendiri kalau nggak percaya), Wina merupakan lokasi mangkal favorit bagi organisasi dan institusi internasional. Selain markas PBB—atau UN lebih hematnya—yang saking luasnya sampai disebut ‘city dan OPEC (Organisation of the Petroleum Exporting Countries) yang Indonesia sudah bukan anggota lagi sejak 2008, Wina juga menjadi tuan rumah bagi KAICIID atau ‘King Abdullah Bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialog.

Organisasi ini bukan cuma punya nama yang panjaaang tapi juga memiliki tujuan mulia: sebagai wadah dialog antaragama dan antarbudaya demi terwujudnya perdamaian dunia (yang sering disebut-sebut oleh mbak-mbak peserta Miss Universe).

—kelihatan garang banget nggak sih bangunannya, lokasinya dekat dengan Börse dan Schottenring
Gimana gitu ‘Interreligious and Intercultural Dialog’ bisa nyambung sama perdamaian dunia?


Ya contohnya kamu punya pohon mangga, akarnya di kebonmu tapi tumbuhnya belok-belok ke kebon tetangga. Walhasil sang tetangga yang kebagian pahitnya mesti bersihin daun yang rontok dan kebagian manisnya juga dari mangga yang jatuh. Terus kamu protes deh soal hak milik si mangga tersebut.
Eh ini kan resminya pohon gue kenapa jadi situ yang makanin mangganya?’, ‘Ya iya lah yang nyapuin daunnya juga gue!’, ‘Kok gitu sih kan akarnya ada di area gue!!’, ‘Makanya mas kalo tanem pohon bilangin dong jangan nyasar-nyasar ke kebon orang!!!’, ‘Lo menghina Angie (red: nama si pohon tsb)??!*LEMPAR-LEMPARAN SANDAL*.

Walaupun seru sayangnya perang sandal nggak akan menyelesaikan masalah. Dalam hal ini lah dialog berperan besar. Kalau sama-sama duduk, ngobrol dan mengerti masalah satu sama lain kan lebih adem mencari jalan keluarnya. Baru sengketa antarkebon aja bisa bikin geger sekampung. Apalagi kalau konflik antaragama dan antarbudaya?

Mending kalau masih dalam satu wilayah, kalau perseteruannya lintas negara terus lempar-lemparan sandal rudal?? Maka dari itu KAICIID bermisi untuk memfasilitasi segala bentuk dialog antaragama dan antarbudaya untuk mencegah berkembangnya konflik menjadi ‘lempar-lemparan sandal’ dalam skala yang lebih brutal.

infografik konflik antaragama di USA yang dirangkum organisasi Tanenbaum
Awal mula terbentuknya KAICIID adalah inisiatif mewujudkan dialog global yang disampaikan pada Islamic Summit di Mekkah tahun 2005 dan diteruskan oleh almarhum King Abdullah Bin Abdulaziz pada pertemuan dengan Paus Benedict XVI tahun 2007.


Setelah beberapa konferensi di Mekkah, Madrid, Wina dan Geneva, para peserta menyepakati perlu dibentuk suatu lembaga resmi yang mewadahi aktifitas dialog global ini. Maka pada Oktober 2012 para negara pendiri (Arab Saudi, Austria dan Spanyol) menandatangani perjanjian pembentukan KAICIID di Wina.

Kemudian pada November 2012 KAICIID meresmikan kantor pusat yang terletak di daerah Schottenring. Dalam kurun waktu 2 tahun, KAICIID menyelenggarakan konferensi internasional antar-pemuka agama pada November 2014 di Wina. Konferensi dengan tema “United against Violence in the Name of Religion” ini menghimpun saran, inisiatif dan pernyataan dari para peserta dalam gerakan melawan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

—KAICIID menekankan pentingnya bertukar informasi antaragama dan antarbudaya untuk memupuk toleransi seperti  yang dilakukan the historic world’s travellers: Marco Polo, Zheng He & Ibn battuta (foto: KAICIID)

Selain konferensi antar-pemuka agama, KAICIID juga menyelenggarakan fellowship (ini nggak ada hubungannya dengan misi bawa-bawa cincin ke gunung berapi) yang bertujuan membekali para aktivis dan akademisi keagamaan dari berbagai agama dan bangsa dalam pengembangan dialog antaragama dan antarbudaya di daerah masing-masing.

KAICIID International Fellows Programme periode 2015-2016 diadakan di Wina selama seminggu (13 – 20 Februari 2015) yang dilanjutkan selama setahun secara online dan evaluasi di akhir tahun kembali di Wina. Sebanyak 20 peserta mengikuti fellowship ini yang merepresentasikan 5 agama (Buddha, Hindu, Kristen, Islam dan Yahudi) dan 17 negara (Arab Saudi, Austria, Guatemala, India, Indonesia, Inggris, Irak, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sri Lanka,  Thailand, Turki, Uganda, USA, Venezuela dan Yordania). Oho, rupanya ada juga perwakilan dari Indonesia!

—kata beliau-beliau ini Indonesia adalah negara yang sangat diperhatikan karena keragaman agama dan budayanya; menarik tapi juga rawan konflik (foto: KAICIID)

Peserta dari Indonesia yang mengikuti fellowship periode 2015-2016 ini adalah Pak Yusuf dan Bu Wiwin. Pak Yusuf adalah aktivis dari ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) yang sudah menerbitkan empat buku dan kerap memberikan workshop mengenai toleransi antarumat bergama. Selain mendapatkan dua gelar master dari UI (Program Studi kajian Timur Tengah dan Islam) dan ICAS London (Master of Philosophy and Islamic Mysticism) beliau juga menerima beasiswa dari Vatikan untuk mendalami interreligious studies di tiga universitas di Italia.  

Bu Wiwin juga seorang aktivis dari Institut DIAN/Interfidei yang berpusat di Yogyakarta. Beliau sudah sangat lama (15 tahun!) berkecimpung dalam kegiatan dialog antaragama dan turut berperan dalam mengorganisir sejumlah konferensi nasional. Bu Wiwin mendapatkan gelar MA dari UIN Sunan Kalijaga (Hubungan Antaragama) dan juga mengajar di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
—acara penutupan KAICIID International Fellows Programme


Selama di Wina Bu Wiwin pernah menginap di rumah penulis (yang berakhir penulis ikutan nginep di hotelnya Bu Wiwin karena kepo ;p—‘BREAKFAST BUFFET DI HOTEL CUY!’ pikirku dengan penuh semangat ‘khas mahasiswa’) yang berbuah manis undangan dari Bu Wiwin yang baik hati untuk ikut hadir di acara penutupan.

Yah, sebenarnya yang diundang adalah WG penulis, Dr. rer. nat. Ningrum, secara beliau yang berdedikasi nungguin si Ibu datang, masak-masak dan mengantarkan Bu Wiwin ke mana-mana.

Alhamdulillah karena sang Dr. rer. nat. Ningrum mencari teman untuk datang ke undangan tersebut akhirnya penulis pun kebagian rejekinya~ Setelah lama penasaran seperti apa dalamnya gedung yang depannya sangar ini akhirnya bisa masuk juga! Sayangnya penulis tidak sempat foto-foto arsitektur dan interior di dalam karena keasikan cemal-cemil dan foto narsis.
 —bukan orang Indonesia kalau nggak foto-foto, haha! Bersama Dr. rer. nat. Ningrum, Bu Wiwin dan Pak Dody sebagai undangan perwakilan dari KBRI

Terlepas dari cemal-cemil yang bikin nggak sempat foto-foto tersebut, hari itu tetap ditutup dengan makan malam di all-you-can-eat & pay-as-you-wish favorit di daerah Schottentor: Deewan. Mohon diperhatikan bahwa ini semata-mata untuk kepentingan wisata alias menunjukkan pada Bu Wiwin tempat makan di Wina yang enak, halal, murah dan banyak (buat yang belum pernah ke sini: SITU KEMANE AJE), jadi bukan karena penulis nggak bisa berhenti makan dan nggak bisa nolak traktiran (terima kasih banyak Bu Wiwin!).
—terima kasih banyak Bu Wiwin untuk dinner-nya, dan Dr. rer. nat. Ningrum untuk fotonya :D

*Setelah ngebahas makanan jadi lupa inti artikelnya apa* Ah ja, jadi kalau suatu waktu ada yang punya konflik antar-apapun yang pelik, baiknya jangan dihadapi dengan anarkisme meskipun sebatas perang sandal.

Hadapi konflik dengan rasional dan diskusi, jangan terhasut ngelempar sandal hanya karena terlihat seru dan seneng lihat lawannya kesakitan :(.

Ambil kursi, bikin Melange, suguhin Sachertorte, dan mulai dengan ‘Das Wetter ist gut oder?’ *lho*. Selamat berdialog dengan asik :)