/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Thursday 2 July 2015

Menjelajah Alpen dari Atas Sadel Sepeda


by Andy Yahya Al Hakim

Sudah 5 bulan saya tinggal di kaki Pegunungan Alpen, di sebuah kota kecil bernama Leoben, Styria, Austria. Austria merupakan negara dengan populasi sebesar 8,5 juta penduduk, yang jumlahnya hampir sama kalau kita bandingkan dengan penduduk 1 kota Jakarta. Penduduk satu provinsi Styria hanya 1,2 juta, jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk kota Bandung sebesar 2,5 juta. Hal ini membuat jalanan sangat lengang dan membuat banyak orang tersenyum atau menyapa karena sangat jarang melihat orang bersepeda ke arah luar kota, seperti yang saya lakukan. 

Bad Ischl
Bersepeda di Bandung dan berkenalan dengan banyak komunitas pesepeda menempa diri saya, baik fisik maupun mental. Maklum, topografi di Austria sangat bergunung-gunung menyerupai Bandung. Bermodalkan tekad dan uang beasiswa yang saya sisihkan, saya beli sepeda bekas di toko jual beli online  yang cukup untuk keperluan komuter menuju kampus serta menunjang hobi yang saya bersepeda dengan ngegembol.

Salzburg

Saya mulai bersepeda dan beradaptasi dengan cuaca karena bulan Februari yang lalu, suhu terendah di kota saya mencapai -10 derajat dengan suhu rata-rata berkisar 0-2 derajat. Sepeda Wheeler 6600 mulai saya coba kayuh ke kota terdekat (Bruck a.d. Mur) yang berjarak 35 km pulang pergi untuk mulai membiasakan dengan suhu dan lalu lintas di Austria. 


Awal Maret, saya mulai dibuat gatel oleh teman-teman penggemar bike camping yang sering melakukan acara kemping bersama-sama di sekitaran Bandung. Hal ini membuat saya bersepeda lebih jauh menuju kota Graz, yang berjarak 150 km pulang pergi dari Leoben. Walaupun tidak bisa kemping dan belum punya pannier sendiri, saya sudah cukup senang dengan tas ransel di belakang sepeda saya ketika pesepeda lain melenggang dengan road bike. 

Perjalanan dua hari menuju Graz memberikan semangat lebih, sehingga saya melanjutkan perjalanan ke kota lain bernama Klagenfurt yang berjarak 190 km dari Leoben dengan membawa tas karena pannier pun belum bisa terbeli. Perjalanan umumnya saya lakukan dalam 2 hari karena hanya mempunyai waktu untuk bersepeda pada hari libur. Kendala yang saya hadapi adalah angin gunung yang kencang, terutama ketika bersepeda dengan suhu rata-rata 8 derajat celcius, yang bertahan hingga bulan April. Bulan Mei, suhu sudah mulai agak menunjukkan rata-rata 12 derajat celcius dan hujan sering turun pada beberapa daerah. 

Add caption

Pada bulan ini, akhirnya pannier bisa terbeli dan saya melakukan perjalanan dari kota Salzburg, tempat kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart menuju kota saya. Di tengah perjalanan dari Salzburg menuju Leoben, saya dibuat kagum oleh banyaknya danau dan gunung-gunung gamping yang membentang dengan pemandangan yang indah.

Klagenfurt

Alpen merupakan rangkaian pegunungan kapur yang terdeformasi (istilah geologi untuk menjelaskan kondisi batuan terubah karena tekanan) membentuk rangkaian pegunungan, membentang dari Perancis, Italia, Swiss, Jerman dan Austria. Danau terisi gleiser (lelehan es dari gunung) sehingga jumlah air menyusut pada musim dingin dan melimpah di musim panas. 

Termasuk sebuah danau yang berjarak 35 kilometer dari Leoben yang bernama Grunner See (dalam bahasa Indonesia berarti danau yang berwarna kehijauan), yang merupakan destinasi wisata alam terfavorit yang di seluruh penjuru Austria. Jalan dihiasi pepohonan pinus yang mengingatkan saya dengan Lembang dan perjalanan ke Kawah Putih bersama-sama teman-teman penggemar sepeda di Indonesia. Suasana ini yang membuat saya kangen dengan Bandung. Suasana keakraban ngliwet dan bersenda gurau membuat saya kangen Bandung.

Grunner See
Bulan Juni yang lalu sebelum berpuasa, ketika teman-teman di Bandung kemping sebelum puasa, membuat saya ingin melakukan hal yang sama. Namun karena membuka tenda di sembarang tempat di Austria dilarang (dan saya sendiri tidak punya tenda), saya selalu memilih untuk mencari losmen murah di pinggiran kota. Kali ini saya menuju Grossglockner Hochalpenstrasse, yang merupakan jalan tol tertinggi di Austria. Grossglockner adalah gunung tertinggi di Austria dengan ketinggian 3.798 m. 


Jalan tol ini dibangun tahun 1930 dan dibuka pada bulan Mei hingga September. Salju menjadi alasan utama jalan dibuka pada waktu tertentu, dimana harus selalu dibersihkan dengan mesin pengeruk salju.. Sepanjang jalan, hampir ribuan mobil dan pesepeda motor dengan cc besar memacu kecepatan jalan tol sepanjang 48 km ini. Jalan tol ini dimulai dari ketinggian 757 m dengan titik tertingginya Fuscher Torl dengan tinggi 2.428 m dan Hoch Tor dengan ketinggian 2.504 m. Rata-rata kemiringan jalan sebesar 9-12 derajat, yang membuat jalan ini berkelok-kelok. Hochtor juga merupakan titik tertinggi dari sebuah kompetisi balapan sepeda bernama Race Around Austria yang menempuh jarak 2.200 km yang ditempuh dalam 3-5 hari. 


Latihan fisik yang saya persiapkan selama ini ternyata masih kurang karena ketika melewati ketinggian 2.000 m, kepala terasa pusing dan nafas juga menjadi tidak teratur. Saya baru ingat betapa pentingnya adaptasi bukan hanya dengan cuaca namun juga dengan ketinggian karena kelembapan udara yang rendah. Saya harus menghentikan kayuhan sepeda di Fuscher Torl di hari pertama, dan menikmati malam di kamar yang terletak di gudang sebuah restoran di puncak gunung karena semua kamar sudah penuh. Keesokan paginya saya lanjutkan perjalanan menuju Hoch Tor, dan mengabadikan gunung-gunung yang masih diselimuti salju walaupun suhu rata-rata berkisar 8 derajat. 
Kenangan terindah saya bersepeda di Austria, di titik tertinggi Fuscher Torl berkibar bendera merah putih. Walaupun sebenarnya itu adalah bendera dari kota Wina dan bukan bendera negara tercinta kita, namun ketika jarak 10.000 km memisahkan Austria dan Indonesia, kangen mendalam terhadap ibu pertiwi membuat saya harus bisa menyelesaikan tujuan saya berada di Austria, menyelesaikan studi dan harus kembali untuk berbakti untuk ibu pertiwi. Saya senang bisa bersepeda di Alpen, tapi saya lebih senang lagi bersepeda bersama-sama dengan teman-teman di Indonesia. 

Jadi, kapan nih, PPI Austria nyepeda bareng? :D





Penulis:
Andy Yahya Al Hakim
Penulis adalah penggiat bersepeda, yang juga aktif menulis blog geologi populer di laman andyyahya.com. Saat ini penulis sedang menempuh studi di bidang mineralogi di Montan Universiataet Leoben, Austria.


No comments:

Post a Comment